SBY vs HB X
Hari ini sekelompok masyarakat Jogja melakukan unjuk rasa di depan istana negara. Mereka mengecam SBY atas perkataannya kemarin mengenai monarki di DIY. "hal ini akan merusak keutuhan bangsa dan negara" ungkap salah seorang pengunjuk rasa.
Nah saya akan sedikit memberikan penjelasan mengenai masalah ini setelah tadi di kampus saya sempat berdiskusi dengan dosen dan teman-teman di kelas. Beberapa hari yang lalu presiden SBY mengatakan bahwa DIY tidak mengikuti sistem demokrasi Indonesia, DIY lebih dekat kepada Monarki. Monarki merupakan sistem pemerintahan kerajaan yang pemimpinnya atau rajanya merupakan tetapan turun temurun. Hal inilah yang membuat presiden SBY mengatakan demikian. Namun disisi lain masyarakat Jogja malah lebih mendukung perihal Sultan Hamengkubuwono ini. Bahkan mereka menyuarakan agar keturunan Sultan harus memiliki anak laki-laki agar bisa jadi penerus Sultan dan Gubernur DIY ke depannya. ( iya kalau istrinya masih mau.........wkwkwkwkwk )
Dosen saya Drs.Paulus Edy Gia yang dahulu pernah kuliah di Jogja mengatakan bahwa sebenarnya pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur DIY menuai penentangan dari saudaranya. Beliau menuturkan bahwa dahulu sebelum meninggal, Sri Sultan Hamengkubuwono IX berpesan agar penerus yang akan menjadi Gubernur DIY tidak harus dari keturunannya. (walaupun ada UU yang mengatur keistimewaan Jogjakarta ini). HB IX mungkin telah memprediksi akan adanya gesekan antara anak-anaknya setelah dia meninggal. Ternyata apa yang disampaikan beliau benar. HB X yang sekarang menjabat Gubernur berselisih dengan saudaranya (penulis tidak tahu namanya) perihal jabatan Gubernur. Persoalannya adalah bahwa HB X merupakan anak dari istri ke dua HB IX, sedangkan saudaranya yang berselisih itu adalah anak dari istri pertama HB IX dan dia beranggapan bahwa dia lebih pantas menjadi Gubernur. Nah, jika merunut pada wasiat HB IX sebenarnya Gubernur DIY tidaklah harus dari keturunan keraton. Namun masyarakat Jogja-lah yang memilih keturunan Sultan.
Jika kita mengikuti sistem demokrasi, SBY lah sebagai pihak yang benar. Beliau mengkritik cara pemilihan Gubernur DIY yang memang lebih monarki dari pada demokrasi. Dalam sistem demokrasi kita mengenal teori "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" (Abraham Lincoln). Jadi pemilihan Gubernur DIY seharusnya dilakukan dengan pemilihan langsung seperti daerah lain. Intinya, ada 2 persoalan dalam kasus ini. Pertama mengenai wasiat HB IX tentang Gubernur DIY tidak harus dari keturunan Sultan. Kedua mengenai status "keistimewaan" DIY yang diatur dalam UU, karena faktor keraton Jogja yang memang dari dahulu menjadi pusat pemerintahan. So, haruskah kita melupakan sejarah ???
Nah saya akan sedikit memberikan penjelasan mengenai masalah ini setelah tadi di kampus saya sempat berdiskusi dengan dosen dan teman-teman di kelas. Beberapa hari yang lalu presiden SBY mengatakan bahwa DIY tidak mengikuti sistem demokrasi Indonesia, DIY lebih dekat kepada Monarki. Monarki merupakan sistem pemerintahan kerajaan yang pemimpinnya atau rajanya merupakan tetapan turun temurun. Hal inilah yang membuat presiden SBY mengatakan demikian. Namun disisi lain masyarakat Jogja malah lebih mendukung perihal Sultan Hamengkubuwono ini. Bahkan mereka menyuarakan agar keturunan Sultan harus memiliki anak laki-laki agar bisa jadi penerus Sultan dan Gubernur DIY ke depannya. ( iya kalau istrinya masih mau.........wkwkwkwkwk )
Dosen saya Drs.Paulus Edy Gia yang dahulu pernah kuliah di Jogja mengatakan bahwa sebenarnya pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur DIY menuai penentangan dari saudaranya. Beliau menuturkan bahwa dahulu sebelum meninggal, Sri Sultan Hamengkubuwono IX berpesan agar penerus yang akan menjadi Gubernur DIY tidak harus dari keturunannya. (walaupun ada UU yang mengatur keistimewaan Jogjakarta ini). HB IX mungkin telah memprediksi akan adanya gesekan antara anak-anaknya setelah dia meninggal. Ternyata apa yang disampaikan beliau benar. HB X yang sekarang menjabat Gubernur berselisih dengan saudaranya (penulis tidak tahu namanya) perihal jabatan Gubernur. Persoalannya adalah bahwa HB X merupakan anak dari istri ke dua HB IX, sedangkan saudaranya yang berselisih itu adalah anak dari istri pertama HB IX dan dia beranggapan bahwa dia lebih pantas menjadi Gubernur. Nah, jika merunut pada wasiat HB IX sebenarnya Gubernur DIY tidaklah harus dari keturunan keraton. Namun masyarakat Jogja-lah yang memilih keturunan Sultan.
Jika kita mengikuti sistem demokrasi, SBY lah sebagai pihak yang benar. Beliau mengkritik cara pemilihan Gubernur DIY yang memang lebih monarki dari pada demokrasi. Dalam sistem demokrasi kita mengenal teori "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" (Abraham Lincoln). Jadi pemilihan Gubernur DIY seharusnya dilakukan dengan pemilihan langsung seperti daerah lain. Intinya, ada 2 persoalan dalam kasus ini. Pertama mengenai wasiat HB IX tentang Gubernur DIY tidak harus dari keturunan Sultan. Kedua mengenai status "keistimewaan" DIY yang diatur dalam UU, karena faktor keraton Jogja yang memang dari dahulu menjadi pusat pemerintahan. So, haruskah kita melupakan sejarah ???