Menimbang Moratorium TKI PRT ke Arab Saudi
JUMAT, 17 Juni 2011, Ruyati yang bekerja sebagai PRT di Arab Saudi meregang nyawa di meja pancungan karena dituduh membunuh ibu majikannya di Mekkah, Arab Saudi. Menurut data kementrian luar negeri, sepanjang tahun 2009-2011 terdapat tiga TKI yang telah dieksekusi mati, dan saat ini terdapat 303 TKI yang terkena ancaman hukuman mati di luar negeri. Sebelumnya kasus Darsem dan Sumiyati juga mencuat ke permukaan, Darsem saat ini juga menunggu uluran tangan pemerintah untuk membayar denda kepada pihak keluarga majikan yang dibunuhnya, sedangkan Sumiyati menanti keadilan atas kasus penyiksaan yang dialaminya. Setelah banyaknya kasus kekerasan dan bahkan kehilangan, pemerintah terdorong membuat perjanjian MoU dengan pemerintah Arab Saudi.
Arab Saudi merupakan salah satu negara penempatan TKI terbesar di luar negeri setelah Negara jiran Malaysia. Menurut data Depnakertrans tahun 2009 jumlah TKI yang bekerja di Arab Saudi mendekati anggka 1 juta orang yaitu 927.500 TKI. Sebagian besar mereka bekerja pada berbagai sektor, baik formal seperti perawat, pejaga toko, dan pekerja informal seperti: PRT, Supir pribadi. Terutama TKI yang berasal dari Jawa Barat (Sunda), NTB (Sumbawa), Kalimantan Selatan (banjar) dan Jawa Timur (Madura), bermigrasi dan bekerja di Arab Saudi sudah membudaya dan terjadi turun temurun. Mereka umumnya bekerja pada sektor informal pekerja rumah tangga (PRT) dengan harapan bisa menjalankan ibadah Haji dan Umroh secara gratis di samping mendapat gaji untuk menghidupi perekonomian keluarganya di kampung halaman.
Keberadaan TKI secara langsung sangat membantu perekonomian Indonesia. Bank Indonesia (BI) 2010 mencatat remitansi TKI dari luar negeri sebesar US$6,73 miliar atau sekitar Rp61 triliun. Untuk 2011, pengiriman uang dari TKI selama kuartal pertama 2011 mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp14 triliun. Rata-rata TKI mengirimkan uang US$ 500 miliar atau sekitar Rp4,5 triliun per bulan ke Indonesia.
Dari sisi asal negara, kawasan Asia memberi sumbangan terbesar yaitu 64 persen. Remitansi didominasi berasal Malaysia sebesar US$2,6 miliar (68 persen), diikuti Hong Kong US$417 juta (11 persen), Taiwan US$358 juta (9,4 persen). Sementara pengiriman uang dari kawasan Timur Tengah dan Afrika mencapai 35 persen dari seluruh remitansi. Arab Saudi merupakan penyumbang inflows remitansi terbesar dari kawasan tersebut dengan nilai remitansi sebesar US$1,7 miliar (83 persen), diikuti Uni Emirat Arab (UEA) sebesar US$145 juta (7 persen) dan Yordania serta Suriah sebesar US$ 84 juta (4 persen).
Kenapa harus Moratorium?
Arab Saudi merupakan negara penempatan yang paling banyak kasus yang dialami TKI. Tahun 2009 pemerintah Indonesia–melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI)–mengeluarkan data bahwa tahun 2008 terdapat 45.626 kasus TKI yang bekerja di luar negeri. Peringkat pertama negara yang paling banyak kasus ialah Arab Saudi 22.035 kasus, Taiwan 4.497 kasus, Uni Emirat Arab (UEA) 3.866 kasus, Singapura 2.937 kasus dan Malaysia 2.476 kasus.
Selain kasus penyiksaan, TKI di Arab Saudi juga mengalami pelecehan seksual, perkosaan, gaji tidak dibayar, lari dari majikan hingga meninggal dunia akibat kekerasan dan eksploitasi serta kasus yang dialami oleh Darsem dan Ruyati yang terpaksa membunuh majikan karena perlakuan buruk yang mereka alami.
Sindikat perdagangan orang di Arab Saudi sudah merajalela. Jaringan calo dan mafia perdagangan orang melibatkan WNI dan orang Saudi telah banyak memakan korban. Banyak TKI menjadi korban, mengalami eksploitasi, ditipu, mendapat perlakuan kerja yang buruk sehingga mereka melarikan diri dari majikan. Karena ketidaktahuannya, mereka banyak yang ditampung oleh calo ilegal yang faktanya orang Indonesia sendiri. Mereka dipekerjakan secara ilegal. Bahkan ada yang terjerumus dan dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Setelah dieksploitasi, biasanya mereka ditelantarkan. Bahkan ada yang hamil dan memiliki anak yang tidak diketahui ayahnya. Kasus ini beberapa kali telah dibongkar oleh polisi Arab Saudi dan dikategorikan sebagai perdagangan manusia (trafficking in person). Bahkan banyak kasus ditemui TKI yang sudah selesai kontrak, oleh para agen PPTKIS nakal mereka tidak dipulangkan. Mereka dibujuk rayu dan dipekerjakan ke Negara Timur Tenga lainnya seperti: Syiria, Jordania, Lebanon dan bahkan ada yang sampai ke Irak dan Palestina yang sudah tentu tidak ada jaminan perlindungan.
Implikasi Sosial
Keberadaan TKI di luar negeri ternyata bukan hanya mendatangkan keuntungan secara ekonomi, namun pemerintah harus menanggung social cost atau implikasi sosial yang cukup tinggi. Selain rendahnya citra Indonesia di luar negeri, khususnya di hadapan bangsa Arab yang lebih mengenal orang Indonesia sebagai PRT atau dengan istilah rendah di Saudi yang memanggil wanita Indonesia dengan sebutan ‘ Siti Rahmah‘ atau julukan wanita rendahan, karena budaya perbudakan di sebagian bangsa Arab masih terjadi.
Keberangkatan PRT perempuan bekerja ke luar negeri khususnya ke Arab Saudi tentu saja memiliki implikasi sosial. Sebab, sebagian dari mereka adalah para ibu yang memiliki anak dan suami yang ditinggalkan. Tingginya kasus perceraian, perselingkuhan dan anak-anak yang tumbuh dan berkembang tanpa bimbingan seorang ibu merupakan “bom waktu” bagi generasi muda Indonesia. Bahkan banyak pula ditemui sebuah keluarga menjadi TKI PRT secara turun temurun. Karena, apabila mereka tidak mampu mengelola keuangan hasil jerih payahnya, maka mereka akan terus menerus menjadi TKI.
Ketergantungan Arab Saudi terhadap pekerja sektor informal PRT Indonesia sangat tinggi, karena mereka sangat memerlukan jasa dan tenaga TKI kita. Di antara negara mayoritas Muslim, hanya Indonesia yang mengirimkan perempuan bekerja pada sektor domestik. Dengan adanya penghentian sementara, maka pemerintah Indonesia dapat meningkatkan daya tawar agar pemerintah Arab Saudi dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap TKI sektor PRT di Arab Saudi.
Gaji yang layak, jam kerja yang jelas, libur dan perlindungan hukum serta perlakuan yang manusiawi harus bisa diperjuangkan oleh pemerintah. Dengan adanya moratorium, pemerintah pun diharapkan bisa membenahi sistem penempatan TKI ke Arab Saudi yang lebih didominasi pihak swasta. Pelatihan dan seleksi yang ketat akan menghasilkan TKI yang berkualitas
sumber : http://www.kompasiana.com