Dhamna merupakan nama istana Kerajaan Kandis. Secara turun-temurun
cerita/tombonya masih tetap ada disampaikan dari generasi ke generasi.
Masyarakat Lubuk Jambi meyakini istana ini masih ada, namun tertimbun
dan sudah tertutupi oleh hutan yang lebat, atau lenyap dari pandangan
manusia. Dalam ceritanya lokasi Istana Dhamna ini pada pertemuan dua
sungai.
Namun sampai saat ini belum pernah melakukan penelusuran ke lokasi
yang dimaksud. Diyakini Istananya masih utuh karena peradaban Kandis
sudah sangat maju, peralatannya terbuat dari emas, perak dan perunggu.
Cerita Istana Dhamna mirip dengan cerita Benua Atlantis yang pertama kali ditulis dalam sebuah dialogue karya Plato yang berjudul Timateus and Critias sekitar tahun 370 SM, disana dikatakan ada negeri subur, makmur, dan berteknologi maju. Negeri itu hancur karena bencana alam, Plato sendiri mendapat kisah ini dari penduduk Mesir, dan orang di Mesir menyebutnya Keftiu.
Atlantis itu artinya : Tanahnya Atlas – Negeri 2 pilar/tiang yang
bisa diartikan sebagai negeri dengan pegunungan-pegunungan. Atlantis
dikenal sangat subur, makmur, berteknologi tinggi, dengan kota berbentuk
lingkaran/cincin yang tersusun daratan dan perairan secara berurutan,
negeri ini disusun berdasarkan perhitungan matematika yang tepat dan
efisien sehingga tertata dengan rapi dengan sebuah istana megah tepat di
pusat kota sebagai pusat pemerintahan. Penduduk Atlantis terbagi dua,
yang satu adalah turunan bangsa Lemuria yang berkulit putih, tinggi,
bermata biru dan berambut pirangan, yang merupakan nenek moyang suku
bangsa arya, sedang satunya lagi berkulit coklat/hitam, relatif pendek,
bermata coklat, dan berambut hitam.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan
bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia.
Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku
Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization
of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33
perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi,
dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah
Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya,
ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan
bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu
wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak
terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang. Santos
menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang
membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan
dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang
akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa
itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es
(era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi
secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia
(dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal
dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan
dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung
berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang
merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling
dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah
bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran
Sunda.
Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau
menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Portugis), Atalaya (Spanyol).
Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat
dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu dan
teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu
di Samudera Atlantik sekarang. Santos berbeda dengan Plato mengenai
lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat
terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es
mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan
lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan
dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar
samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa.
Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara
beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos
menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat berdasarkan kepada sejarah dunia,
tampak Plato telah melakukan kekhilafan, mengenai letak benua Atlantis
yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditantang oleh Santos.
Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak
berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu.
Lenyapnya Negeri Atlas disebabkan karena peristiwa besar terjadi,
yaitu terjadinya letusan besar dari dua gunung berapi (pilar) yang
mengapit, yaitu Krakatoa dan Toba. Saking dahsyatnya seluruh bumi
berguncang hebat sehingga menimbulkan tsunami yang maha dahsyat, lebih
hebat dari pada tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004. Gunung
krakatoa dan toba adalah gunung prasejarah yang berukuran sangat besar,
gunung krakatoa sekarang dan danau toba adalah kaldera raksasa yang
tercipta akibat letusan tersebut. Letusan gunung toba sampai saat ini
belum tau pasti kapan terjadinya, namun letusan Karaktoa yang paling
dahsyat diketahui terjadi pada tahun 1883 M (puncak letusan Krakatoa).
Istana Dhamna menurut tombo/cerita bukan tenggelam ke dasar lautan, akan tetapi diduga kuat tertimbun akibat abu vulkanik dari dua gunung yang bersamaan meletus. Lokasi Istana Dhamna tersebut adalah di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau. Apakah Istana Dhamna yang dimaksud oleh Plato sebagai Benua Atlantik? Suatu pertanyaan yang belum terjawab.
Pulau Sumatera dalam Lintasan Sejarah
Pulau Perca adalah salah satu sebutan dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi. Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Atlas, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan terakhir Pulau Sumatra.
Pulau Perca adalah salah satu sebutan dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi. Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Atlas, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan terakhir Pulau Sumatra.
Pulau Perca terletak berdampingan dengan Semenanjung Malaka yang
dibatasi oleh Selat Malaka dibagian Timur dan Samudra Hindia sebelah
barat sebagai pembatas dengan Benua Afrika. Pulau Perca berdekatan
dengan Semenanjung Malaka, maka jelas daerah yang dihuni manusia pertama
kalinya berada di Pantai Timur Pulau Perca karena lebih mudah dijangkau
dari pada Pantai bagian barat. Pulau Perca yang timbul merupakan Bukit
Barisan yang berjejer dari utara ke selatan, dan yang paling dekat
dengan Semenanjung Malaka diperkirakan adalah Bukit Barisan yang berada
di Kabupaten Kuantan Singingi sekarang, tepatnya adalah Bukit Bakar yang
bertalian dengan Bukit Betabuh dan Bukit Selasih, sedangkan daratan
yang rendah masih berada di bawah permukaan laut.
Istana Dhamna Sebagai Pusat Kerajaan Kandis
Ratusan tahun sebelum Masehi Bukit Bakar mulai didatangi oleh Pendatang yang kurang jelas asal usulnya. Populasi penduduk makin lama makin berkembang, yang akhirnya memerlukan suatu aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang diperintah oleh Raja Darmaswara yang disingkat dengan Daswara. Raja Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan Temenggung serta Mentri Perdagangan. Darmaswara membangun sebuah istana yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana Dhamna.
Ratusan tahun sebelum Masehi Bukit Bakar mulai didatangi oleh Pendatang yang kurang jelas asal usulnya. Populasi penduduk makin lama makin berkembang, yang akhirnya memerlukan suatu aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang diperintah oleh Raja Darmaswara yang disingkat dengan Daswara. Raja Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan Temenggung serta Mentri Perdagangan. Darmaswara membangun sebuah istana yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana Dhamna.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dari hasil bumi seperti emas, perak, dan lain-lain. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Raja Darmaswara memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.
Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung
Malaka oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung
atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan
kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis
dan Malaka selama berabad-abad sampai Kandis mencapai puncak
kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke
Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang
Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan
Malaka dan meninggalkan sejarah Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna
kepada anak istrinya di Malaka dan Kepulauan Riau.
Raja Darmaswara memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak
kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin
berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa
mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat
lain diantaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan
Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.
Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang
timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau
sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk
Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut,
sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah
Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku
di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir
sekarang).
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi
perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar
kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah
itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh
Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga
Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung
pindah ke Merapi (Sumatra Barat sekarang).
Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang
mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya
Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan
Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) dimana
keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih
menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi
Dt. Ketemenggungan. Kedua Tokoh inilah yang menjadi Tokoh Legendaris
Minangkabau.
Setelah kerajaan Kandis mengalahkan Kerajaan Koto Alang, Kandis
memindahkan pusat pemerintahannya ke Taluk Kuantan oleh Raja Darmaswara
(tidak diketahui Raja Darmaswara yang ke berapa). Pemindahan pusat
pemerintahan Kandis ini disebabkan oleh bencana alam (tidak diketahui
tahun terjadinya) yang mengakibatkan Istana Dhamna hilang tertimbun
tanah atau mungkin oleh perbuatan makhluk halus yang menghilangkan
istana dari pandangan manusia.
Istana Dhamna yang hilang ini pernah diperlihatkan pada tahun 1984
kepada 7 (tujuh) orang Lubuk Jambi yang waktu itu mencari goa sarang
layang-layang (walet) yang dipimpin oleh seorang guru Tharekat yang
bergelar Pokiah Lunak. Mereka melihat istana itu lengkap dengan pagar
batu disekelilingnya. Pada tahun 1986 untuk kedua kalinya pagar istana
diperlihatkan kepada tiga orang yang sedang mencari rotan/manau. Berita
penemuan Istana ini menyebar dan besok harinya banyak penduduk pergi
ingin melihatnya, namun tidak ditemukan lagi. Begitulah sebagai bukti
istana yang hilang yang bernama Istana Dhamna sebagai peninggalan
sejarah Kerajaan Kandis, satu kerajaan yang tertua di Indonesia.
Pada tahun 1375 M Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketemenggungan
dan beberapa orang lainnya hilir berakit kulim sebagai napak tilas
pertama menelusuri negeri asal mereka melalui sungai keruh sesuai dengan
peninggalan sejarah dari leluhurnya Dt. Perpatih Nan Sabatang yang
pertama pindah ke Sumatra Barat. Dalam pelaksanaan hilir berakit
tersebut banyak kesulitan karena sungai masih sempit banyak kayu dan
akar yang menjuntai ke sungai, sehingga rakit sering tersangkut. Untuk
mengelakkan halangan ini Dt. Perpatih Nan Sabatang selalu memerintahkan
kuak-kan-tan, yang akhirnya Dt. Perpatih Nan Sabatang merubah nama
Sungai Keruh menjadi Batang Kuantan yang berasal dari kata kuak-kan-tan.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Kandis Dt. Perpatih Nan Sabatang
menukar nama Kerajaan Kandis dengan Kerajaan Kuantan yang pada waktu itu
kerajaan Kandis diperintah oleh tiga Orang Godang, yaitu Dt. Bandaro
Lelo Budi dari Kari, Dt. Pobo dari Kopah dan Dt. Simambang dari Sentajo
yang selanjutnya dikenal dengan Tri Buana. Pemerintahan dipegang oleh
Orang Godang disebabkan karena terputusnya Putra Mahkota dari Raja
Darmaswara.
Dt. Perpatih Nan Sabatang mengadakan pertemuan dengan ketiga Orang
Godang tersebut serta menghadirkan pemuka masyarakat lainnya di Balai
Tanah Bukik Limpato Inuman untuk memusyawarahkan persyaratan berdirinya
satu Nagori di daerah Kuantan.
Pada tahun 1425 M Kerajaan Kuantan menerima tamu kehormatan yang
berasal dari Kerajaan Chola dari India Selatan, yaitu Natan Sang Sita
Sangkala dengan julukan Sang Sapurba. Sang Sapurba kawin di Semenanjung
Malaka dengan Putri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Putri Lebar Daun dan
mendapatkan anak empat orang yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka, Putri
Candra Dewi dan Putri Bilal Daun. Sesampainya di Kerajaan Kuantan Sang
Sapurba diminta oleh Dt. Bandaro Lelo Budi, Dt. Pobo dan Dt. Simambang
menjadi raja di Kerajaan Kuantan. Sang Sapurba menerima tawaran
tersebut.
Kerajaan Kuantan yang berpusat di Sintuo dibawah pemerintahan Sang
Sapurba tidak banyak mencapai kemajuan. Peninggalan Raja Sang Sapurba
hanya membuat danau Raja untuk pemeliharaan buaya di Paruso, membuat
sumur dan kolam raja yang sampai sekarang masih ada bukti peninggalan
Sang Sapurba tersebut. Disamping itu Sang Sapurba membunuh naga (ular)
yang besar dengan keris Ganjar Iyas karena naga (ular) tersebut telah
meresahkan masyarakat. Tempat mati naga (ular) tersebut diberi nama
Punago artinya punah naga. Sedangkan Teluk Kuantan sekarang dijadikannya
pelabuhan dagang.
Pada tahun 1435 M Sang Sapurba yang datang dengan Ceti Bilang Pandai
di Kerajaan Kuantan mohon diri dan melanjutkan perjalanan ke hulu Batang
Kuantan (Sumatra Barat sekarang atau Minangkabau) dan menuju Pagaruyung
di Tanah Datar. Sepeninggal Sang Sapurba berdirilah kerajaan-kerajaan
kecil di Kuantan dan hilang fungsi Orang Godang nan batigo yang membantu
Sang Sapurba dalam kerajaan Kuantan.
Penyebaran keturunan kerajaan Kandis ke berbagai daerah di Sumatra
ditandai dengan persamaan bahasa dengan bahasa orang Kuantan seperti ke
Payakumbuh, Sibolga, Tapak Tuan, daerah Kampar, Jambi, Bengkulu dan
daerah-daerah di Sumatra Barat.
Bukti-bukti Sejarah daerah Kuantan di Bawah Permukaan Laut
Bukti daerah Kuantan dibawah permukaan laut dimasa Sumatra bernama Pulau Perca diantaranya adalah:
• Adanya tempat bernama Rawang Ojung (kapal kayu), ditempat ini dahulunya Ojung menjatuhkan sauh/jangkar (di Desa Pulau Binjai sekarang).
• Adanya tempat bernama Rawang Ojung/Rawang Tekuluk (di Desa Sangau sekarang).
• Ditemukannya fosil kerang laut di Sosokpan pada tahun 1982 oleh
penduduk waktu menggali tanah membuat kebun. Dinamakan tempat ini dengan
Sosokpan maksudnya ditempat ini dahulunya binatang menyosok/minum ke
tepi pantai.
• Adanya nama tempat bernama Sintongah di Desa Sangau, dimana Raja
Sintong (Raja Sriwijaya) mengadakan ekspedisi ke Kerajaan Kancil Putih
dan ditempat ini mereka menjatuhkan jangkar, sehingga tempat ini
dinamakan Sintongah.
• Pada tahun 2000 M ditemukan batu laut di daerah Cengar oleh seorang Mahasiswa Arkeologi dari Universitas Hasanudin Makasar.
Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Kandis:
• Bekas penambangan emas yang disebut dengan tambang titah, artinya diadakan penambangan emas atas titah Raja Darmaswara. Lokasinya dikaki Bukit Bakar bagian timur yang lobang-lobang bekas penambangan telah ditumbuhi kayu-kayuan.
• Adanya daerah yang bernama Muaro Tombang (Muara Tambang) yang terletak di sebelah hilir tambang titah.
• Istana Dhamna yang berlokasi di Bukit Bakar (belum terungkap).
Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Koto Alang:
• Adanya tempat yang disebut Padang Candi di Dusun Botung (Desa
Sangau), menandakan Kerajaan Koto Alang menganut agama Hindu. Pada tahun
1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol,
dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya.
Dilokasi tersebut ditemukan potongan-potongan batu bata candi.
• Dilain tempat telah berulang kali diadakan penggalian liar dari
situs Kerajaan Koto Alang tanpa diketahui maksud dan tujuan oleh
penduduk dan tanpa sepengetahuan Pemangku Adat dan Pemerintah.
Penggalian tersebut dilakukan dimana diperkirakan letaknya istana Koto
Alang di Dusun Botung tersebut.
• Pada tahun 1970-an banyak penemuan masyarakat yang mendulang emas
seperti cincin, gelang, penjahit emas, dan mata pancing dari emas.
• Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh disekitar Kerajaan Koto Alang.
• Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh disekitar Kerajaan Koto Alang.
• Pada tahun 2007 dilakukan penggalian oleh Badan Purbakala Batu
Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa
sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah. Pada penggalian
sebelumnya mereka menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis
pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui keberadaannya.
• Adanya sungai yang mengalir dipinggir Padang Candi yang disebut
dengan Sungai Salo yang berasal dari kata Raja Bukak Selo karena
dikalahkan oleh Kerajaan Kandis.
• Adanya tempat bernama Lopak Gajah Mati sebelah selatan Pasar Lubuk
Jambi. Tempat itu merupakan tempat Gajah Tunggal mati dibunuh oleh Raja
Koto Alang yang dibunuh dengan lembing sogar jantan. Disebut Gajah
Tunggal karena gading gajah tersebut hanya satu sebelah kiri kepalanya.
Gading tersebut telah dijual pada tahun 1976 karena tidak tahu nilai
sejarahnya. Didalam kepala gajah ditemukan sebuah mustika yang sangat
indah sebesar bola pimpong. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah
Mati dinamakan dengan Batang Simujur, artinya mujur/beruntung membunuh
gajah tersebut.
Bukti Kerajaan Kancil Putih
• Adanya ekspedisi Raja Sintong (Raja Sriwijaya) ke Kerajaan Kancil Putih, sehingga ada nama tempat Sintongah di Desa Sangau.
Demikianlah gambaran singkat tentang Pulau Atlas, Istana Dhamna, Kerajaan Kandis dan beberapa kerajaan yang pernah ada di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau (peta dan letak lokasinya dipegang oleh tim penelusuran peninggalan kerajaan Kandis yang dibentuk oleh Pemangku Adat Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal). Kalau Kerajaan Kandis ini Benua Atlantis yang dimaksud oleh Plato, berarti peninggalan Kerajaan Kandis termasuk warisan budaya dunia. Oleh karena itu partisipasi berbagai pihak (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemangku Adat dan masyarakat setempat) sangat menentukan dalam mengungkap kembali pusat peradaban dunia tersebut.
Ini hanyalah sebuah analisis pemikiran tanpa dasar ilmiah yang kuat,
jadi sampai saat ini catatan tentang kerajaan Kandis sangat Minim,
mungkin hanya terdapat dalam Kitab Negara Kertagama, mohon masukan dari
yang lebih ahli, tentang Kerajan kandis
Article By : Datuk Bertuah
0 komentar:
Posting Komentar