Akhir –akhir ini Masyarakat Indonesia di suguhkan carut marut Permasalahan Hukum .Ini semua tak lepas dari pengaruh media massa, baik itu media cetak maupun media elektronik yang setiap hari menyuguhkan masyarakat Indonesia dengan permasalah an hukum, mulai dari yang melilit kalangan pejabat tinggi Negara hingga kalangan masyarakat kecil.
Permasalahan Hukum di Indonesia sepertinya tak akan pernah berhenti. Hal ini pula yang kadang membuat kalangan orang tertentu tertarik menganalisa, dan menyelidiki perkembangan hukum yang terjadi Indonesia. Bagaimana tidak ,banyak kasus – kasus yang terjadi di Indonesia melibatkan Pejabat – Pejabat di Indonesia bahkan juga menyeret Jenderal – Jenderal Kepolisian Indonesia.Tapi sayangnya masih banyak juga kasus – kasus hukum dalam penyelesaiannya terkesan tebang pilih dan Terkesan tidak tersentuh Hukum misalnya saja MEGA SKANDAL BANK CENTURY, MAFIA PAJAK, yang diduga melibatkan banyak petinggi – petinggi dan jendaral yang berkuasa di Indonesia.
Selain itu, dugaan Kriminalisasi terhadap Dua Pimpinan KPK Bibit Samad Rianto & Chandra M Hamzah merupakan suatu kasus yang cukup menarik juga untuk di Simak karena banyak kalangan yang menduga ada unsur kesengajaan Pelemahan terhadap institusi KPK setelah ditinggal oleh Antasari Azhar yang tersangkut kasus pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnain Bos PT Putri Rajawali Banjaran . Dua pimpinan KPK tersebut sempat beberapa hari ditahan oleh Bareskrim Mabes POLRI, Insitusi di bawah pimpinan Komjen Pol Susno Duadji dengan dugaan Penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang terhadap Anggodo Wijoyo. Namun karena banyaknya desakan dari lapisan masyarakat Indonesia yang mendukung Dua pimpinan KPK tersebut akhirnya dilepas dengan surat keputusan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ) oleh pihak Kejaksaaan Republik Indonesia, namun Anggodo Widjoyo tidak terima dengan pengeluaran keputusan SKPP dan megajukan PRA Peradilan sebagai rasa ketidak puasannya terhadap kebijakan tersebut, dan pengadilan memenangkan pihak Anggodo Widjoyo yang keberatan dengan adanya SKPP tersebut, dan SKPP itupun tidak lagi berlaku, tetapi akhirnya Kejaksaan Republik Indonesia Mengeluarkan Kebijakan Deponeering terhadap kasus Dua Pimpinan KPK tersebut dengan alasan Demi Kepentingan Umum.
Hangatnya Isu Bibit & Chandra dikarenakan Mahkamah Agung atas permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh kejaksaan dalam perkara PRA-peradilan atas pembatalan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan perkara Bibit- Chandra oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hal ini berarti kedua pemimpin KPK itu akan menghadapi peradilan perkara tuduhan pemerasan. Banyak kalangan yang mengharapkan agar deponeering diterapkan dalam perkara ini. Problematis !!! setidaknya, jika hal itu dilihat dari kepentingan penegakan hukum (law enforcement). Prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan dalam hukum terkebiri. Itulah bahasa yang digunakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji.
Pada dasarnya, jelas Indriyanto, setiap perkara yang cukup bukti harus dilimpahkan ke pengadilan. Deponir atau pengesampingan penuntutan ini juga menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan. Deponir selalu masalah disekualitas, tidak ada persamaan antara kepentingan umum dan kepentingan penegakan hukum.
Memang, UU No 16/2004, khususnya Pasal 35 Huruf (c), memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mendeponir suatu perkara dengan alasan untuk kepentingan umum. Dalam penjelasan disebutkan, kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau masyarakat luas. UU tidak memberikan ketentuan lebih detail tentang hal itu. Parameter kepentingan umum itu debatable. Karena itu, deponeering jarang sekali dipergunakan.
Tetapi nyatanya kejakasaan agung tetap mengeluarkan Deponeering pada kasus Bibit & Chandra dengan keputusan Jaksa agung Basrief Arief adalah sah secara hukum sesuai UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kalau keputusannya sudah sesuai dengan aturan main dan dilandasi UU yang jelas.
Pasal 35 Ayat (c), Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
Penjelasan Pasal 35 Ayat (c), yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini meruapakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Sikap dan keputusan Kejaksaan Agung dalam mengesampingkan kasus Bibit-Chandra adalah sebuah peristiwa hukum yang sepatutnya dicatat dalam sejarah hukum di Indonesia. Namun, tentunya menimbulkan polemik juga sebagaimana saya singgung di atas terdapat dua kelompok yang pro dan kontra.
Ada baiknya kita menempatkan pemikiran kita dalam dua pihak yang berpolemik itu. Pertama, mari kita menempatkan diri dalam kelompok yang pro terhadap deponeering. Artinya, kita tidak usah terlalu “legalistic minded”, baku dalam aturan-aturan karena hukum seharusnya berkembang dengan perkembangan masyarakat tentunya. Alasan Kejaksaan Agung yang mendeponiir perkara sudah tepat, upaya pemberantasan korupsi adalah agenda bangsa Indonesia yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
Masyarakat menginginkan agar pemberantasan korupsi semakin giat, namun di sisi lain, ada upaya “lain” untuk memperlemah KPK yang rupanya makin giat dilakukan. Memang, harus diakui bahwa upaya mengesampingkan perkara Bibit-Chandra terlambat. Seharusnya dilakukan dari tahun lalu, sebagaimana isyarat presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement) hingga kasus ini tidak berlarut-larut.
Upaya dari Kejaksaan Agung, juga sudah tepat dengan mempertimbangkan dua aspek, yaitu sosial dan hukum. Aspek sosial, tentunya dukungan dari masyarakat agar KPK menjadi garda terdepan dalam penegakkan hukum di negara kita. Dukungan masyarakat yang begitu besar terhadap Bibit-Chandra sudah terlihat semenjak polemik kasus “Cicak vs Buaya”, baik di dunia maya maupun aksi-aksi dukungan langsung. Secara aspek hukum, jika deponeering tidak diberikan, maka kejaksaan akan melimpahkan perkara. Jika melimpahkan, maka yang terjadi adalah perubahan status, dari tersangka menjadi terdakwa. Menurut UU KPK, jika Bibit-Chandra menjadi terdakwa, maka keduanya harus nonaktif, sebagaimana yang pernah dialami oleh mantan ketua KPK, Antasari Azhar. Apabila hal itu terjadi, maka upaya pemberantasan korupsi berjalan di tempat atau mati.
Kedua, mari kita menempatkan diri pada posisi manusia-manusia hukum yang sangat menjunjung tinggi hukum normatif dalam sistem hukum negara kita. Orang-orang yang bukan, “the man in the street”, tetapi melihat hukum adalah asas tertinggi. Persoalan apakah ada motif politik, kekuasaan, dan berbagai kepentingan lainnya untuk menolak deponeering, saya tidak tahu. Sebagaimana saya singgung di atas, merusak adagium, “everyone is equal before the law.”
0 komentar:
Posting Komentar