Mardianto Manan, Tokoh Kuansing |
Peringatan hari jadi Kabupaten Kuantan Singingi yang ke-12 pekan lalu
merupakan hari jadi yang unik di mata saya sebagai warga Kuantan
Singingi. Kenapa demikian? Minimal dua alasan.
Pertama, kabupaten ini dilahirkan tepat pada 12 Oktober 1999 yang lalu. Kalau dihitung sampai saat ini, maka genaplah hari jadinya pada tahun ini dengan angka 12 tahun pula.
Sehingga keunikan yang saya maksudkan di sini adalah angka 12 tersebut merupakan angka ganda yang sama, antara hari lahir dan hari jadinya yakni sama sama duabelas.
Kedua, adalah selama 12 tahun ini, baru kali ini terjadi pertama kalinya Pemerintah Kuansing tidak mengundang para tokoh pendiri kabupaten yang sekarang bertempat tinggal di perantauan, seperti Abbas Jamil, Suwardi MS, Hasanusi JS, Ilyas Yakub, Akmal JS serta serentetan lainya yang berada di Pekanbaru.
Sambil bergurau Prof Suwardi MS berkata, Kabupaten Siak dalam HUT tahun ini, mereka mengundangnya, sementara HUT kabupaten tanah tumpah darahnya sendiri tidak mau mengundangnya. Padahal sedari awal dulu kita semua mendirikan kabupaten ini dengan kebersamaaan, tanpa memilah dan memilih dengan kebersatuan menuju kabupaten baru, dengan sebuah motto yang diungkapkan Samad Thaha (alm) waktu itu “Membangkit Batang Terendam” dengan pilar “Besatu Nogori Maju.”
Kalimat tersebut di atas merupakan sebuah kalimat yang mengandung makna yang dalam sekali. Sehingga tak akan cukup dalam ruang opini ini untuk dijabarkan dengan panjang lebar.
Namun demikian saya akan mencoba menjelaskan bahwa pada hakikinya tujuan awal dari sebuah perjuangan nagori, pastilah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang masih terkebelakang di setiap pelosok nagori.
‘’Membangkit Batang Terendam’’ merupakan judul pidato Samad Thaha saat pembukan Mubes pada 9-10 Juli 1999 di Balai Adat Kabupaten Kuantan Singingi Teluk Kuantan, yang disambut dengan gegap gempita oleh seluruh masyarakat Kuantan Singingi di kala itu. Semua bersatu padu demi terwujudnya Kuansing yang maju.
Bermula dari ketidakpuasaan terhadap pembangunan yang masih jauh dari harapan, bahkan tokoh pendiri Kuansing Samad Thaha menganalogikan sebagai berikut;
“Bagaikan fatamorgana di kejauhan, makin dijangkau makin jauh saja, dan akhirnya kita ditinggalkan oleh gemerlapan fatamorgana tersebut. Silih bergantinya kepemimpinan di Kabupaten Indragiri Hulu pada masa lalu tidak mengubah pola pembangunan yang terjadi pada wilayah kepemilikannya dari waktu ke waktu.
Termasuklah salah satunya bagi masyarakat Kuantan pada masa tersebut masih jauh terkebelakang. Maka sebagian sebab dari yang disebutkan di atas, diperparah oleh fakto- faktor ketidakpuasan secara moril lainnya.
Maka terjadilah tuntutan-tuntutan yang sudah dilakukan semenjak tahun 60-an, yang terakhir diadakan pada 9-10 juli 1999 di Balai Adat Teluk Kuantan, yang dihadiri oleh Bupati Indragiri Hulu Ruchiyat Syaifuddin serta Gubernur Riau Salah Djasit.’’
Ada kalimat yang menarik yang diungkapkan Samad Thaha sewaktu pidatonya dibacakan depan Gubernur Riau, mengungkapkan masalah keberadaan masa lalu kabupaten, yang masih bernaung dalam masa Orde Baru.
Dia meneropong masa itu secara phsychis, secara ekonomi mereka (masyarakat Kuantan Singingi) jauh tertinggal dan terhimpit, mereka merasa MC (munderwairdighed compleks).
Mereka tidak berani bicara pada pimpinan, ini membawa makna buttom up tak jalan. Bila buttom up tidak jalan berarti demokrasi secara tak langsung dikubur hidup-hidup.
Kerapuhan akhlak di perkotaan bukan saja di kaki lima, bahkan telah merebak jauh sampai ke meja-meja kalangan intelektual, masuk dan merasuk di ruangan aparatur penganyom masyarakat. Ini semua membuat rakyat grass root kehilangan pegangan ke mana mereka harus mendambakan perbaikan dan perlindungan nasibnya.
Siapa lagi yang harus mereka teladani dan agungkan? Mana kini pilihan mereka tetap bertahan dengan keadaan demikian atau kita wujudkan pendirian Kabupaten Kuantan Singingi?
Sepotong pragraf ini juga menarik yang lainnya selain yang dua di atas. Kenapa saya katakan menarik, karena seakan-akan, pada waktu itu ada keinginan melepaskan nilai-nilai negatif pada masa itu.
Tetapi lucunya setelah berjalan 12 tahun hari jadi kabupaten ini, justru masa lalu yang harusnya telah kita kubur hidup-hidup tersebut justru muncul pula sekarang dengan gaya kepemimpinan, yang mengubur hidup-hidup demokrasi.
Para pegawai tak berani bicara pada pimpinan karena bupati hanyalah mengangkat orang-orang yang sepaham dengan mereka. Bagi yang kurang sepaham, maka bakal mengganggurlah jabatannya sampai bupati berikutnya lagi, balangau sampai tuo.
Banyak posisi tempat dan jabatan struktural yang tidak sesuai dengan keahliannya. Bahkan Dinas Pekerjaan Umum masa lalu yang selalu diisi oleh para tukang insinyur, namun sekarang diisi oleh doktorandus atau sarjana pendidikan. Makanya ada semacam anekdot baru semenjak kepemimpinan orde sekarang ini, tidak perlu sekolah penjenjangan untuk jadi Kadis, seperti Spama bahkan Spati, yang teramat penting adalah Sepaham.
Padahal saat bulan Ramadan para tokoh Kuansing di perantauan diundang. Tapi semenjak selesai Pemilukada kemarin mereka tidak diundang lagi, bahkan momen halal bi halal pun tidak dilakukan lagi di Pekanbaru pada tahun ini, yang seharusnya ajang bersilaturahmi dengan para masyarakat asal Kuansing di Pekanbaru.
Fatalnya pada hari ulang tahunnya kabupaten pun, Pemerintah Kabupaten Kuansing tidak mengundang satu orang pun tokoh Kuansing di perantauan.
Padahal hari jadi kabupaten tersebut adalah buah karya para pendahulu yang sudah meninggalkan kita semua serta para tokoh yang masih hidup sekarang ini.
Sedangkan mereka para pejabat yang ada sekarang ini entah di mana di kala itu. Untuk saat ini yang paling tepat marilah kita berangkulan tangan menatap masa depan yang lebih cemerlang.
Karena titik awal para tokoh kita mendirikan kabupaten ini adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang jauh terkebelakang jauh di ceruk-ceruk negeri.***
Mardianto Manan Akademisi Asal Kuansing, Bermastautin di Pekanbaru.
Pertama, kabupaten ini dilahirkan tepat pada 12 Oktober 1999 yang lalu. Kalau dihitung sampai saat ini, maka genaplah hari jadinya pada tahun ini dengan angka 12 tahun pula.
Sehingga keunikan yang saya maksudkan di sini adalah angka 12 tersebut merupakan angka ganda yang sama, antara hari lahir dan hari jadinya yakni sama sama duabelas.
Kedua, adalah selama 12 tahun ini, baru kali ini terjadi pertama kalinya Pemerintah Kuansing tidak mengundang para tokoh pendiri kabupaten yang sekarang bertempat tinggal di perantauan, seperti Abbas Jamil, Suwardi MS, Hasanusi JS, Ilyas Yakub, Akmal JS serta serentetan lainya yang berada di Pekanbaru.
Sambil bergurau Prof Suwardi MS berkata, Kabupaten Siak dalam HUT tahun ini, mereka mengundangnya, sementara HUT kabupaten tanah tumpah darahnya sendiri tidak mau mengundangnya. Padahal sedari awal dulu kita semua mendirikan kabupaten ini dengan kebersamaaan, tanpa memilah dan memilih dengan kebersatuan menuju kabupaten baru, dengan sebuah motto yang diungkapkan Samad Thaha (alm) waktu itu “Membangkit Batang Terendam” dengan pilar “Besatu Nogori Maju.”
Kalimat tersebut di atas merupakan sebuah kalimat yang mengandung makna yang dalam sekali. Sehingga tak akan cukup dalam ruang opini ini untuk dijabarkan dengan panjang lebar.
Namun demikian saya akan mencoba menjelaskan bahwa pada hakikinya tujuan awal dari sebuah perjuangan nagori, pastilah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang masih terkebelakang di setiap pelosok nagori.
‘’Membangkit Batang Terendam’’ merupakan judul pidato Samad Thaha saat pembukan Mubes pada 9-10 Juli 1999 di Balai Adat Kabupaten Kuantan Singingi Teluk Kuantan, yang disambut dengan gegap gempita oleh seluruh masyarakat Kuantan Singingi di kala itu. Semua bersatu padu demi terwujudnya Kuansing yang maju.
Bermula dari ketidakpuasaan terhadap pembangunan yang masih jauh dari harapan, bahkan tokoh pendiri Kuansing Samad Thaha menganalogikan sebagai berikut;
“Bagaikan fatamorgana di kejauhan, makin dijangkau makin jauh saja, dan akhirnya kita ditinggalkan oleh gemerlapan fatamorgana tersebut. Silih bergantinya kepemimpinan di Kabupaten Indragiri Hulu pada masa lalu tidak mengubah pola pembangunan yang terjadi pada wilayah kepemilikannya dari waktu ke waktu.
Termasuklah salah satunya bagi masyarakat Kuantan pada masa tersebut masih jauh terkebelakang. Maka sebagian sebab dari yang disebutkan di atas, diperparah oleh fakto- faktor ketidakpuasan secara moril lainnya.
Maka terjadilah tuntutan-tuntutan yang sudah dilakukan semenjak tahun 60-an, yang terakhir diadakan pada 9-10 juli 1999 di Balai Adat Teluk Kuantan, yang dihadiri oleh Bupati Indragiri Hulu Ruchiyat Syaifuddin serta Gubernur Riau Salah Djasit.’’
Ada kalimat yang menarik yang diungkapkan Samad Thaha sewaktu pidatonya dibacakan depan Gubernur Riau, mengungkapkan masalah keberadaan masa lalu kabupaten, yang masih bernaung dalam masa Orde Baru.
Dia meneropong masa itu secara phsychis, secara ekonomi mereka (masyarakat Kuantan Singingi) jauh tertinggal dan terhimpit, mereka merasa MC (munderwairdighed compleks).
Mereka tidak berani bicara pada pimpinan, ini membawa makna buttom up tak jalan. Bila buttom up tidak jalan berarti demokrasi secara tak langsung dikubur hidup-hidup.
Kerapuhan akhlak di perkotaan bukan saja di kaki lima, bahkan telah merebak jauh sampai ke meja-meja kalangan intelektual, masuk dan merasuk di ruangan aparatur penganyom masyarakat. Ini semua membuat rakyat grass root kehilangan pegangan ke mana mereka harus mendambakan perbaikan dan perlindungan nasibnya.
Siapa lagi yang harus mereka teladani dan agungkan? Mana kini pilihan mereka tetap bertahan dengan keadaan demikian atau kita wujudkan pendirian Kabupaten Kuantan Singingi?
Sepotong pragraf ini juga menarik yang lainnya selain yang dua di atas. Kenapa saya katakan menarik, karena seakan-akan, pada waktu itu ada keinginan melepaskan nilai-nilai negatif pada masa itu.
Tetapi lucunya setelah berjalan 12 tahun hari jadi kabupaten ini, justru masa lalu yang harusnya telah kita kubur hidup-hidup tersebut justru muncul pula sekarang dengan gaya kepemimpinan, yang mengubur hidup-hidup demokrasi.
Para pegawai tak berani bicara pada pimpinan karena bupati hanyalah mengangkat orang-orang yang sepaham dengan mereka. Bagi yang kurang sepaham, maka bakal mengganggurlah jabatannya sampai bupati berikutnya lagi, balangau sampai tuo.
Banyak posisi tempat dan jabatan struktural yang tidak sesuai dengan keahliannya. Bahkan Dinas Pekerjaan Umum masa lalu yang selalu diisi oleh para tukang insinyur, namun sekarang diisi oleh doktorandus atau sarjana pendidikan. Makanya ada semacam anekdot baru semenjak kepemimpinan orde sekarang ini, tidak perlu sekolah penjenjangan untuk jadi Kadis, seperti Spama bahkan Spati, yang teramat penting adalah Sepaham.
Padahal saat bulan Ramadan para tokoh Kuansing di perantauan diundang. Tapi semenjak selesai Pemilukada kemarin mereka tidak diundang lagi, bahkan momen halal bi halal pun tidak dilakukan lagi di Pekanbaru pada tahun ini, yang seharusnya ajang bersilaturahmi dengan para masyarakat asal Kuansing di Pekanbaru.
Fatalnya pada hari ulang tahunnya kabupaten pun, Pemerintah Kabupaten Kuansing tidak mengundang satu orang pun tokoh Kuansing di perantauan.
Padahal hari jadi kabupaten tersebut adalah buah karya para pendahulu yang sudah meninggalkan kita semua serta para tokoh yang masih hidup sekarang ini.
Sedangkan mereka para pejabat yang ada sekarang ini entah di mana di kala itu. Untuk saat ini yang paling tepat marilah kita berangkulan tangan menatap masa depan yang lebih cemerlang.
Karena titik awal para tokoh kita mendirikan kabupaten ini adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang jauh terkebelakang jauh di ceruk-ceruk negeri.***
Mardianto Manan Akademisi Asal Kuansing, Bermastautin di Pekanbaru.
http://www.riaupos.co.id/opini.php?act=full&id=322&kat=1#.TqIkBA-laZA.facebook
1 komentar:
kok lahirnya kuansing 12 oktober 2009 sih...????????????
ralat donk tulisan diatas....
baca dulu sebelum di posting....
hmmm.... yang ada kuansing itu lahirnya 12 oktober 1999 kale.....
Posting Komentar