TERKENANG DORAJATUN, MAX DAN KASIMoleh Syaukani Al Karim
Sebuah catatan kritis atas pemberian keistimewaan Yogyakarta
SYAUKANI AL KARIM
Sebuah catatan kritis atas pemberian keistimewaan Yogyakarta
SYAUKANI AL KARIM
Kraton Jogja |
Mereka bertiga mungkin bersahabat, tapi mungkin juga tidak. Yang
satu konon bernama Dorodjatun. Ia tumbuh dan diasuh dalam sebuah
tradisi Keraton Jawa yang kental. Dorodjatun, kabarnya sempat
bersahabat dengan Max, seorang Melayu
keturunan Arab yang dibesarkan dan dididik secara total dengan cara
Belanda. Sementara Kasim, sama seperti Max, adalah seorang Melayu
yang tumbuh dalam dua tradisi, yaitu Melayu dan Arab. Mereka
tinggal berjauhan, Dorodjatun di Yogyakarta, Max di Pontianak, dan
Kasim di Siak Sri Inderapura.
Mereka bertiga waktu itu tentu saja bukan orang Indonesia, karena masing-masing mereka datang dari negara yang berbeda. Bahkan mereka bertiga adalah kepala negara di negaranya masing-masing. Tapi tak lama setelah proklamasi itu, Dorodjatun, Max, dan Kasim, tidak hanya menjadi orang Indonesia, tapi sekaligus memberikan kontribusi besar, penting, dan sangat menentukan, dalam membuat Indonesia menjadi negara yang utuh seperti hari ini.
Mereka bertiga waktu itu tentu saja bukan orang Indonesia, karena masing-masing mereka datang dari negara yang berbeda. Bahkan mereka bertiga adalah kepala negara di negaranya masing-masing. Tapi tak lama setelah proklamasi itu, Dorodjatun, Max, dan Kasim, tidak hanya menjadi orang Indonesia, tapi sekaligus memberikan kontribusi besar, penting, dan sangat menentukan, dalam membuat Indonesia menjadi negara yang utuh seperti hari ini.
Istana Siak Sri Indrapura |
Beberapa waktu setelah Indonesia Merdeka, Sukarno mengajak
Dorodjatun, Max dan Kasim menjadi Indonesia. Yang pertama menyambut
ajakan Sukarno adalah Dorodjatun. Pada tanggal 15 September 1945,
Dorojdatun yang lebih dikenal dengan nama Sri Sultan Hamengkubuwono
IX, mengeluarkan Maklumat bagi rakyat Yogyakarta untuk bergabung
dengan Indonesia. Tak lama setelah Dorojatun, maka Kasim, yang
terkenal dengan nama Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil
Syaifuddin al Baalawiy, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan
Syarif Kasim II, pada bulan Oktober 1945 menyatakan bahwa Siak Sri
Inderapura bergabung dengan Indonesia. Beliau menyatakan bergabung,
meskipun sebenarnya parlemen Siak [Siak Raad] belum mengeluarkan
putusan karena sidang mengalami kebuntuan [deadlock], karena
sebagian anggota Siak Raad ingin Siak menjadi negara sendiri dan yang
sebagian lain ingin bergabung dengan Indonesia.
Yang terakhir menyambut Sukarno adalah Max. Lelaki Melayu Pontianak, yang di Belanda dipanggil dengan nama Max Hamid ini, adalah Sultan Hamid al-Gadrie II, raja Pontianak. Hamid Algadrie, bukan hanya seorang sultan, tapi sekaligus pimpinan dari sejumlah negara yang ingin berdiri sendiri, yang tergabung dalam Bijeenkomst Federale voor Overleg [BFO] atau Majelis Negara-Negara Federal. Kesediaan Hamid Algadrie II dan BFO, melebur dalam Indonesia ini jugalah yang menjadi salah satu dasar Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang ditandatangani pada 27 Desember 1949.
Ketiganya datang kepada Indonesia dengan hati yang jantan, dengan buah tangan yang penuh. Sultan Hamengkubuwono memberikan kekuasaan, harta, dan merendahkan kesombongan ke-raja-annya demi ke-Indonesiaan. Sultan Syarif Kasim II, bergabung dengan Indonesia sembari menyerahkan tahta, 10 buah provinsi yang kaya dan eksotik, 2 daerah jajahan, sejumlah berlian, dan uang tunai sebesar 13 Juta Gulden. Sultan Hamid Algadrie pula, demi Indonesia, melepaskan tahta dan memberikan wilayah yang kaya kepada Indonesia.
Ketiganya bergabung dengan hati yang jantan. Tapi kita kecewa, sejarah, kekuasaan dan politik di Indonesia, khususnya pusat kekuasaan di Jakarta, memperlakukan ketiganya dengan “keadilan” yang tak sama, berbeda seperti bumi dengan langit. Pada tahun 1950, Jakarta dan Sukarno memberikan status keistimewaan kepada tanah Yogyakarta dengan mengizinkan eksistensi kesultanan dan menetapkan Sultan sebagai pemimpin politik di Yogya, tapi pada saat yang sama Jakarta hanya menjadikan Sultan Syarif Kasim II sebagai rakyat biasa dan menghina Riau dengan menjadikannya hanya sebagai salah satu dari tiga keresidenan dalam provinsi Sumatera Bagian Tengah. Nasib Sultan Hamid Algadrie II tak jauh berbeda. Pada masa Indonesia menganut sistim Federal [Negara RIS] yang ikut Ia arsiteki, Hamid Algadrie II hanya kebagian kursi menteri tanpa pertofolio [tanpa kekuasaan] di bawah kabinet Hatta. Hidupnya kemudian Lebih tragis, pada tahun 1953 Ia kemudian dipenjara oleh Sukarno selama 10 tahun karena melawan kekuasaan, juga karena Konsep Negara Federal yang diusungnya, yang menjadi muasal Republik Indonesia Serikat [RIS], mungkin dipandang mengebiri “kejumawaan” Sukarno dan lembaga kepresidenan. Begitulah nasib Hamid Algadrie, padahal konon menurut salah satu sumber, Hamid Algadrie, adalah perancang dan pencipta lambang negara, Garuda Pancasila.
Kita tidak pernah mempersoalkan tentang keistimewaan atau privelese Yogyakarta. Kita telah menerima dan mengarifi itu sebagai sebuah takdir langit, dan hasil dari keberpihakan sejarah yang kental, serta penerokaan silam yang tak dalam. Kita juga telah menelan fakta keistimewaan Yogya itu dengan baik, mendorongnya ke perut dengan sempurna, meski kadang dengan kerongkongan yang tersedak. Kita selama berpuluh tahun ini telah menerimanya dengan hati yang lapang, meski kita mencium ada aroma “perselingkuhan primordial” dalam perbedaan perlakuan Jakarta itu.
Kita tak pernah mempersoalkan Keistimewaan atau privelese Yogyakarta. Kita setuju, dan begitulah seharusnya negara yang bermartabat memperlakukan tokoh dan wilayah yang berjasa. Yang kita persoalkan adalah ketidakadilan perlakuan negara terhadap tokoh dan daerah lain yang setara. Yang membuat kita luka adalah pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan, baik oleh para sejarawan, tokoh masyarakat, tokoh politik, dan bahkan petinggi negeri yang mencoba meng-alas-i Keistimewaan Yogya. Alasannya tidak salah, tapi seolah-olah memberi kesan bahwa hanya Yogya memiliki alasan itu, hanya Yogya yang pantas mendapat keistimewaan itu.
Yang terakhir menyambut Sukarno adalah Max. Lelaki Melayu Pontianak, yang di Belanda dipanggil dengan nama Max Hamid ini, adalah Sultan Hamid al-Gadrie II, raja Pontianak. Hamid Algadrie, bukan hanya seorang sultan, tapi sekaligus pimpinan dari sejumlah negara yang ingin berdiri sendiri, yang tergabung dalam Bijeenkomst Federale voor Overleg [BFO] atau Majelis Negara-Negara Federal. Kesediaan Hamid Algadrie II dan BFO, melebur dalam Indonesia ini jugalah yang menjadi salah satu dasar Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang ditandatangani pada 27 Desember 1949.
Ketiganya datang kepada Indonesia dengan hati yang jantan, dengan buah tangan yang penuh. Sultan Hamengkubuwono memberikan kekuasaan, harta, dan merendahkan kesombongan ke-raja-annya demi ke-Indonesiaan. Sultan Syarif Kasim II, bergabung dengan Indonesia sembari menyerahkan tahta, 10 buah provinsi yang kaya dan eksotik, 2 daerah jajahan, sejumlah berlian, dan uang tunai sebesar 13 Juta Gulden. Sultan Hamid Algadrie pula, demi Indonesia, melepaskan tahta dan memberikan wilayah yang kaya kepada Indonesia.
Ketiganya bergabung dengan hati yang jantan. Tapi kita kecewa, sejarah, kekuasaan dan politik di Indonesia, khususnya pusat kekuasaan di Jakarta, memperlakukan ketiganya dengan “keadilan” yang tak sama, berbeda seperti bumi dengan langit. Pada tahun 1950, Jakarta dan Sukarno memberikan status keistimewaan kepada tanah Yogyakarta dengan mengizinkan eksistensi kesultanan dan menetapkan Sultan sebagai pemimpin politik di Yogya, tapi pada saat yang sama Jakarta hanya menjadikan Sultan Syarif Kasim II sebagai rakyat biasa dan menghina Riau dengan menjadikannya hanya sebagai salah satu dari tiga keresidenan dalam provinsi Sumatera Bagian Tengah. Nasib Sultan Hamid Algadrie II tak jauh berbeda. Pada masa Indonesia menganut sistim Federal [Negara RIS] yang ikut Ia arsiteki, Hamid Algadrie II hanya kebagian kursi menteri tanpa pertofolio [tanpa kekuasaan] di bawah kabinet Hatta. Hidupnya kemudian Lebih tragis, pada tahun 1953 Ia kemudian dipenjara oleh Sukarno selama 10 tahun karena melawan kekuasaan, juga karena Konsep Negara Federal yang diusungnya, yang menjadi muasal Republik Indonesia Serikat [RIS], mungkin dipandang mengebiri “kejumawaan” Sukarno dan lembaga kepresidenan. Begitulah nasib Hamid Algadrie, padahal konon menurut salah satu sumber, Hamid Algadrie, adalah perancang dan pencipta lambang negara, Garuda Pancasila.
Kita tidak pernah mempersoalkan tentang keistimewaan atau privelese Yogyakarta. Kita telah menerima dan mengarifi itu sebagai sebuah takdir langit, dan hasil dari keberpihakan sejarah yang kental, serta penerokaan silam yang tak dalam. Kita juga telah menelan fakta keistimewaan Yogya itu dengan baik, mendorongnya ke perut dengan sempurna, meski kadang dengan kerongkongan yang tersedak. Kita selama berpuluh tahun ini telah menerimanya dengan hati yang lapang, meski kita mencium ada aroma “perselingkuhan primordial” dalam perbedaan perlakuan Jakarta itu.
Kita tak pernah mempersoalkan Keistimewaan atau privelese Yogyakarta. Kita setuju, dan begitulah seharusnya negara yang bermartabat memperlakukan tokoh dan wilayah yang berjasa. Yang kita persoalkan adalah ketidakadilan perlakuan negara terhadap tokoh dan daerah lain yang setara. Yang membuat kita luka adalah pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan, baik oleh para sejarawan, tokoh masyarakat, tokoh politik, dan bahkan petinggi negeri yang mencoba meng-alas-i Keistimewaan Yogya. Alasannya tidak salah, tapi seolah-olah memberi kesan bahwa hanya Yogya memiliki alasan itu, hanya Yogya yang pantas mendapat keistimewaan itu.
Kesultanan Pontianak |
Pertimbangan tentang “masuknya negara merdeka ke dalam negara yang
baru merdeka”, Pertimbangan tentang “kerelaan memberikan wilayah”,
pertimbangan tentang ‘ketinggian budaya”, sesungguhnya tidak bisa
disematkan hanya kepada Yogya, tapi juga beberapa kerajaan yang
masih tegak berdiri setelah tahun 1945, seperti Siak dan Pontianak.
Kita setuju Yogyakarta dimuliakan, tapi muliakan juga tokoh dan
wilayah lain yang jasanya sama. Pertimbangan dan alasan itulah yang
melukai. Pertimbangan dan alasan yang dikemas sedemikian rupa itu,
memberikan kesan bahwa seolah-olah hanya kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat lah yang memberikan kontribusi, seolah-olah
menafikan/menidakkan peran kesejarahan kerajaan lain yang masih eksis
pada waktu bersamaan.
Jika kita fokus ke Riau. Kita tentu saja dapat bertanya, apakah sumbangan Riau lebih kecil aspek kesejarahannya jika dibandingkan dengan yang lain? Dalam bukunya “Perbendaharaan Lama” HAMKA menyebutkan tentang kebesaran hati seorang raja Siak untuk bergabung dengan Indonesia: “dan di sini [Riau] di zaman baru, terdapat seorang raja Melayu, yang mula-mula sekali menyatakan kerajaannya menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia, sebagai sambutan baginda atas proklamasi 17 agustus 1945. Itu terjadi masih dalam bulan Oktober 1945, dan beliau serahkan beserta pengakuan penggabungan diri itu, 13.000.000 [tigabelas juta] Gulden kekayaan baginda kepada Republik Indonesia untuk sokongan bagi perjuangan kemerdekaan. Itulah yang dipertuan besar Sri Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin al Baalawiy, sultan Siak Sri Inderapura dan rantau jajahan takluknya yang bersemayam di dalam istana Al Hasyimiyah al Mustanjid Billahi.”
Demikian kata HAMKA, dan jika dilihat dari pernyataan itu, saya tak yakin bahwa sumbangannya lebih kecil dibandingkan Yogya. Bayangkan, pada saat itu, seluruh rakyat Indonesia mengumpulkan biaya perjuangan dan sebagaimana yang termaktub di dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka gerakan itu berhasil menghimpun dana sebesar 500.000.000 [lima ratus juta rupiah]. Bandingkan dengan sumbangan pribadi sultan Siak yang 13.000.000 [tigabelas juta] gulden, yang jika dirupiahkan pada saat itu, angkanya demikian besar. Itu belum lagi jika kita hitung dengan sumbangannya sepanjang “kemerdekaan” dikandung badan. Berdasarkan catatan yang pernah dimuat oleh sebuah media massa, bahwa selama 60 tahun ini, Riau telah menyumbangkan 20 milyar barrel minyak bumi. Jika kita kalikan 1 [satu] barrel dengan angka murah meriah saja katakanlah $30 maka Riau sudah menyumbang $600.000.000.000 dan jika dirupiahkan, maka jumlahnya hampir Rp. 6.000.000.000.000.000 [enam ribu trilyun rupiah]. Itu baru minyak, belum lagi dari hutan, hasil laut, timah, bauksit, dan lain sebagainya.
Andai kita hendak berbicara tentang nasionalisme dan keindonesiaan, Sejarawan Prof. Ali Hasymi dalam risalahnya tentang “Negara Boneka” ada menyebutkan tentang nasionalisme Sultan Syarif Kasim: “Pada waktu sejumlah orang yang tidak berperibadi, bersedia menjadi boneka-boneka Dr. Van Mook, seorang sultan yang turun temurun menduduki tahta kerajaan Siak, muncul dengan sikap menentang dan melawan gagasan-gagasan Van Mook, dan bahkan beliau menolak untuk diangkat menjadi sultan boneka di bawah Van Mook. Dengan Sukarela, sultan Syarif Kasim dan permaisurinya Syarifah Fadlun meninggalkan tahta kerajaan di Siak Sri Inderapura dan hijrah ke daerah republik yang masih murni [Aceh].”
Pun, kalau kita hendak menilik dari sudut kerelaan dan kesungguhan ber-Indonesia, hal itu dapat kita lihat dalam catatan yang termuat dalam Memoir Bung Hatta. Dalam Memoir Bung Hatta, ada disebut tentang pertemuan dengan sultan Siak di Kutaraja pada 7 Juni 1949: Sorenya aku menerima Sultan Siak dan Isterinya. Aku mengadakan perjanjian dengan sultan Siak, bahwa Ia dalam beberapa hari lagi akan mengadakan mengadakan pidato radio yang ditujukan kepada rakyat Siak, dengan menganjurkan kepada mereka ikut dengan republik dan tidak mau menjadi rakyat negara bagian baru yang didirikan Belanda.”
Nah, dengan fakta-fakta kesejarahan dan kekinian itu, pada hemat saya, ketidakinginan Indonesia meletakkan Riau secara agung dalam sejarah keindonesiaan adalah pembangkangan dan penistaan terhadap sejarah. Tapi sayang, pemerintah dari negara “yang adil dan beradab” ini tidak menunjukkan keadilan dan keberadaban dalam bersikap. Bahkan Riau, pun baru dipandang sebagai sebuah provinsi, setelah reformasi 1998. Sebelumnya, Riau jangankan memperoleh keistimewaan, untuk menjadi kepala rumah tangga [gubernur] di rumahnya sendiri, tidak diperbolehkan. Berdasarkan catatan, sebelum reformasi, hanya ada seorang putra Riau yang dapat menjadi gubernur, dan itu pun karena tokoh itu seorang Militer yang dikirim oleh pusat.
Riau, dengan segala kontribusinya itu, menurut saya pantas untuk diapresiasi. Melalui tulisan ini, saya tentu saja tidak berharap, agar negara menegakkan kembali sistim kerajaan di Riau, sama sekali tidak. Tapi pada hemat saya, ada patutnya jika Indonesia memberikan keistimewaan kepada Riau dalam bentuk yang berbeda. Jika Indonesia bisa memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Papua, karena mereka “berani melawan”, tentu negara dapat pula memberikan hal yang sama kepada Riau karena “berani menunjukkan kebaikan hati”. Yang “berani melawan” pantas mendapat perhatian, dan “yang baik hati” pantas pula diberikan penghargaan. Jika tidak, maka Indonesia akan mewariskan sebuah tradisi dan pelajaran yang buruk, bahwa hanya dengan “berani melawan” perhatian baru didapatkan. Ketidakarifan dan ketidakadilan bersikap ini akan menjadi sumber kecemburuan dan keretakan negeri zaman berzaman.
Jika saya bandingkan Yogyakarta dengan Riau, duhai alangkah malangnya Riau. Andai keistimewaan Yogya dicabut, paling tidak Yogya sudah menikmati privelese selama 50 tahun atas baktinya kepada Indonesia. Riau? Kata orang kampung saya, Ape tidak je, habuk pun tak ade.
Saya secara pribadi setuju dengan perlawanan Yogyakarta, tapi persetujuan itu tidaklah berangkat dari persetujuan tentang adanya sebuah monarkhi. Bagi saya, ada atau tidaknya sebuah sistim monarkhi, bukanlah hal yang utama, tapi perlawanan itu penting, karena pemerintah perlu disadarkan bahwa mereka hanyalah satu bagian dari sebuah pilar yang menegakkan negara. Ada dua pilar lain, yaitu masyarakat dengan keseluruhan nilainya, dan wilayah dengan seluruh potensinya. Kedua pilar itu telah berinteraksi secara bergemuruh pada sebuah zaman yang jauh, jauh sebelum Indonesia diberi nama. Jika Pemerintah sebagai satu pilar, merobohkan dua pilar penyangga yang lain, maka bangunan negara ini pasti akan roboh.
Pun, jika pemerintah hendak beralasan bahwa hal itu bertentangan dengan konstitusi [UUD 1945], maka alangkah banyaknya hal di negeri ini yang bertentangan dengan UUD 1945. Izinkanlah kami bertanya: Apakah korupsi tidak bertentangan dengan UUD 1945? Apakah penyerahan sumberdaya Indonesia kepada pihak Asing tidak bertentangan dengan UUD 1945? Apakah pengingkaran hukum tidak bertentangan dengan UUD 1945? Kalau jawabannya: “Bertentangan”, maka mengapa pemerintah tidak mengurus hal itu lebih dahulu ketimbang mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya sudah tak dipersoalkan oleh rakyat. Mengapa pemerintah tidak fokus saja pada pencapaian amanah Pancasila dan UUD 1945, yaitu penciptaan masyarakat yang adil dan makmur? Mengapa kita harus menciptakan masalah yang banyak, kalau memiliki kemampuan menyelesaikan hanya sedikit?
Kami, sesungguhnya merindui pemerintah yang fokus menjalankan amanah memakmurkan Indonesia. Kami tak pernah merindui pemimpin, yang kehendaknya “dipaksakan harus menjadi sebab” atas sesuatu yang terjadi pada sebuah negara. Untuk pemimpin yang seperti itu, dalam mimpi pun kami tak ingin.
Jika kita fokus ke Riau. Kita tentu saja dapat bertanya, apakah sumbangan Riau lebih kecil aspek kesejarahannya jika dibandingkan dengan yang lain? Dalam bukunya “Perbendaharaan Lama” HAMKA menyebutkan tentang kebesaran hati seorang raja Siak untuk bergabung dengan Indonesia: “dan di sini [Riau] di zaman baru, terdapat seorang raja Melayu, yang mula-mula sekali menyatakan kerajaannya menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia, sebagai sambutan baginda atas proklamasi 17 agustus 1945. Itu terjadi masih dalam bulan Oktober 1945, dan beliau serahkan beserta pengakuan penggabungan diri itu, 13.000.000 [tigabelas juta] Gulden kekayaan baginda kepada Republik Indonesia untuk sokongan bagi perjuangan kemerdekaan. Itulah yang dipertuan besar Sri Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin al Baalawiy, sultan Siak Sri Inderapura dan rantau jajahan takluknya yang bersemayam di dalam istana Al Hasyimiyah al Mustanjid Billahi.”
Demikian kata HAMKA, dan jika dilihat dari pernyataan itu, saya tak yakin bahwa sumbangannya lebih kecil dibandingkan Yogya. Bayangkan, pada saat itu, seluruh rakyat Indonesia mengumpulkan biaya perjuangan dan sebagaimana yang termaktub di dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka gerakan itu berhasil menghimpun dana sebesar 500.000.000 [lima ratus juta rupiah]. Bandingkan dengan sumbangan pribadi sultan Siak yang 13.000.000 [tigabelas juta] gulden, yang jika dirupiahkan pada saat itu, angkanya demikian besar. Itu belum lagi jika kita hitung dengan sumbangannya sepanjang “kemerdekaan” dikandung badan. Berdasarkan catatan yang pernah dimuat oleh sebuah media massa, bahwa selama 60 tahun ini, Riau telah menyumbangkan 20 milyar barrel minyak bumi. Jika kita kalikan 1 [satu] barrel dengan angka murah meriah saja katakanlah $30 maka Riau sudah menyumbang $600.000.000.000 dan jika dirupiahkan, maka jumlahnya hampir Rp. 6.000.000.000.000.000 [enam ribu trilyun rupiah]. Itu baru minyak, belum lagi dari hutan, hasil laut, timah, bauksit, dan lain sebagainya.
Andai kita hendak berbicara tentang nasionalisme dan keindonesiaan, Sejarawan Prof. Ali Hasymi dalam risalahnya tentang “Negara Boneka” ada menyebutkan tentang nasionalisme Sultan Syarif Kasim: “Pada waktu sejumlah orang yang tidak berperibadi, bersedia menjadi boneka-boneka Dr. Van Mook, seorang sultan yang turun temurun menduduki tahta kerajaan Siak, muncul dengan sikap menentang dan melawan gagasan-gagasan Van Mook, dan bahkan beliau menolak untuk diangkat menjadi sultan boneka di bawah Van Mook. Dengan Sukarela, sultan Syarif Kasim dan permaisurinya Syarifah Fadlun meninggalkan tahta kerajaan di Siak Sri Inderapura dan hijrah ke daerah republik yang masih murni [Aceh].”
Pun, kalau kita hendak menilik dari sudut kerelaan dan kesungguhan ber-Indonesia, hal itu dapat kita lihat dalam catatan yang termuat dalam Memoir Bung Hatta. Dalam Memoir Bung Hatta, ada disebut tentang pertemuan dengan sultan Siak di Kutaraja pada 7 Juni 1949: Sorenya aku menerima Sultan Siak dan Isterinya. Aku mengadakan perjanjian dengan sultan Siak, bahwa Ia dalam beberapa hari lagi akan mengadakan mengadakan pidato radio yang ditujukan kepada rakyat Siak, dengan menganjurkan kepada mereka ikut dengan republik dan tidak mau menjadi rakyat negara bagian baru yang didirikan Belanda.”
Nah, dengan fakta-fakta kesejarahan dan kekinian itu, pada hemat saya, ketidakinginan Indonesia meletakkan Riau secara agung dalam sejarah keindonesiaan adalah pembangkangan dan penistaan terhadap sejarah. Tapi sayang, pemerintah dari negara “yang adil dan beradab” ini tidak menunjukkan keadilan dan keberadaban dalam bersikap. Bahkan Riau, pun baru dipandang sebagai sebuah provinsi, setelah reformasi 1998. Sebelumnya, Riau jangankan memperoleh keistimewaan, untuk menjadi kepala rumah tangga [gubernur] di rumahnya sendiri, tidak diperbolehkan. Berdasarkan catatan, sebelum reformasi, hanya ada seorang putra Riau yang dapat menjadi gubernur, dan itu pun karena tokoh itu seorang Militer yang dikirim oleh pusat.
Riau, dengan segala kontribusinya itu, menurut saya pantas untuk diapresiasi. Melalui tulisan ini, saya tentu saja tidak berharap, agar negara menegakkan kembali sistim kerajaan di Riau, sama sekali tidak. Tapi pada hemat saya, ada patutnya jika Indonesia memberikan keistimewaan kepada Riau dalam bentuk yang berbeda. Jika Indonesia bisa memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Papua, karena mereka “berani melawan”, tentu negara dapat pula memberikan hal yang sama kepada Riau karena “berani menunjukkan kebaikan hati”. Yang “berani melawan” pantas mendapat perhatian, dan “yang baik hati” pantas pula diberikan penghargaan. Jika tidak, maka Indonesia akan mewariskan sebuah tradisi dan pelajaran yang buruk, bahwa hanya dengan “berani melawan” perhatian baru didapatkan. Ketidakarifan dan ketidakadilan bersikap ini akan menjadi sumber kecemburuan dan keretakan negeri zaman berzaman.
Jika saya bandingkan Yogyakarta dengan Riau, duhai alangkah malangnya Riau. Andai keistimewaan Yogya dicabut, paling tidak Yogya sudah menikmati privelese selama 50 tahun atas baktinya kepada Indonesia. Riau? Kata orang kampung saya, Ape tidak je, habuk pun tak ade.
Saya secara pribadi setuju dengan perlawanan Yogyakarta, tapi persetujuan itu tidaklah berangkat dari persetujuan tentang adanya sebuah monarkhi. Bagi saya, ada atau tidaknya sebuah sistim monarkhi, bukanlah hal yang utama, tapi perlawanan itu penting, karena pemerintah perlu disadarkan bahwa mereka hanyalah satu bagian dari sebuah pilar yang menegakkan negara. Ada dua pilar lain, yaitu masyarakat dengan keseluruhan nilainya, dan wilayah dengan seluruh potensinya. Kedua pilar itu telah berinteraksi secara bergemuruh pada sebuah zaman yang jauh, jauh sebelum Indonesia diberi nama. Jika Pemerintah sebagai satu pilar, merobohkan dua pilar penyangga yang lain, maka bangunan negara ini pasti akan roboh.
Pun, jika pemerintah hendak beralasan bahwa hal itu bertentangan dengan konstitusi [UUD 1945], maka alangkah banyaknya hal di negeri ini yang bertentangan dengan UUD 1945. Izinkanlah kami bertanya: Apakah korupsi tidak bertentangan dengan UUD 1945? Apakah penyerahan sumberdaya Indonesia kepada pihak Asing tidak bertentangan dengan UUD 1945? Apakah pengingkaran hukum tidak bertentangan dengan UUD 1945? Kalau jawabannya: “Bertentangan”, maka mengapa pemerintah tidak mengurus hal itu lebih dahulu ketimbang mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya sudah tak dipersoalkan oleh rakyat. Mengapa pemerintah tidak fokus saja pada pencapaian amanah Pancasila dan UUD 1945, yaitu penciptaan masyarakat yang adil dan makmur? Mengapa kita harus menciptakan masalah yang banyak, kalau memiliki kemampuan menyelesaikan hanya sedikit?
Kami, sesungguhnya merindui pemerintah yang fokus menjalankan amanah memakmurkan Indonesia. Kami tak pernah merindui pemimpin, yang kehendaknya “dipaksakan harus menjadi sebab” atas sesuatu yang terjadi pada sebuah negara. Untuk pemimpin yang seperti itu, dalam mimpi pun kami tak ingin.
Sumber : FP RIAU PESISIR CENTRE ON FB
0 komentar:
Posting Komentar