Perkembangan
HAM di Indonesia
Oleh
Tri Anung Anindita
1001
1202 52
Tugas Kuliah Hukum Tata Negara
Ilmu
Pemerintahan
A.
Perdebatan
Awal tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang
Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1] Di
Indonesia, wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus
politik dan ketatanegaraan bangsa ini.[2]
Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan
bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian
daripadanya.[3]
Jauh sebelum kemerdekaan, para
perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan
harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Percikan pikiran tersebut dapat
dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah
Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto,
Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh
Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia
Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan
di depan pengadilan Hindia Belanda.[4]
Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang
terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi sumber inspirasi ketika
konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).[5] Di
sinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak
asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.
Sama halnya dengan
negara berkembang yang lain, hak asasi menjadi topik pembicaraan di Indonesia.
Pembicaraan ini dilakukan menjelang perumusan Undang-Undang Dasar 1945, masa
Orde Baru dan Reformasi. Pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan, ada
perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi dalam negara demokratis.[6]
Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration
des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789)[7]
berdasarkan individualism dan liberalism, dank arena itu bertentangan dengan
asas kekeluargaan dan gotong royong.[8]
Mengenai hal ini Ir. Soekarno menyatakan : “jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham
gotong royong, dan keadilan social, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham
individualisme dan liberalism daipadanya.”[9]
Di pihak lain, Drs. Moh. Hatta mengatakan
bahwa walaupun yang dibentuk negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan
beberapa hak warga negara agar jangan timbul negara kekuasaan (Machtsstaat).[10]
Maka pada akhirnya tercapai kesepakatan bahwa hak asasi dimasukkan dalam UUD
1945, tetapi dalam jumlah terbatas. Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu
saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul kembali sebagai usaha untuk
mengoreksi kelemahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante
(1957-1959).[11]
Sebagaimana terekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi
Manusia, perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di
BPUPKI. Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante
relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights,
dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar.[12] Meskipun
ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante
sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun
dalam satu bab pada konstitusi.[13]
Namun konstituante dibubarkan oleh Soekarno, sehingga kesepakatan-keseakatan
yang dicapai urung dilakukan, termasuk mengenai Hak Asasi Manusia.
Setelah rezim Demokrasi Terpimpin
Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, maka lahirlah rezim Orde Baru
yang juga memunculkan kembali perdebatan mengenai perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum
MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad
Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia.[14] Hasilnya
adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan
Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak
berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS.[15]
Alasannya terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih
tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S)
yang bersifat “sementara”. Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971)
terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi.[16]
Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang
pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai
akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari
kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi
manusia di Indonesia.
B. Hak Asasi Manusia Dalam Era
Reformasi
Runtuhnya rezim orde baru berarti
memasuki era reformasi bagi bangsa Indonesia. B.J. Habibie yang menggantikan
Soeharto sebagai presiden RI tidak punya pilihan lain selain memenuhi tuntutan
reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup, menjamin
perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme,
menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik,
dan sebagainya.[17]
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas
perlindungan hak asasi manusia. Perdebatan bukan lagi soal-soal konseptual
berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah
ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD.[18] Karena
kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan
bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat
amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan
hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen
internasional hak asasi manusia.[19]
Hasil pemilihan umum 1999 berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan
terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun
2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam
Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat
sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak
Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar
1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000.[20]
Amandemen Kedua tentang Hak Asasi
Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat
pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa
ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di
dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada
masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi
manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa
betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal
dalam budaya Indonesia.[21]
Selain keberhasilan memasukkan Hak
Asasi Manusia ke dalam Undang-Undang Dasar, pemerintah era reformasi juga
berhasil merumuskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR
No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.[22]
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi
manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan
terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga
pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat
adat (indigenous people). [23]
Penambahan rumusan HAM serta jaminan
penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan pemajuannya ke dalam Undang-Undang
Dasar 1945 bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan
pandangan mengenai HAM yang makin menganggap penting HAM sebagai isu global,
melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat negara hukum.[24]
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 2 dinyatakan Negara Republik
Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari
manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan
martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta
keadilan.
Dengan adanya rumusan HAM dalam
Undang-Undang Dasar 1945, maka secara konstitusional hak asasi setiap warga
negara dan penduduk Indonesia telah dijamin.[25]
Dalam hubungan tersebut, bangsa Indonesia berpandangan bahwa HAM harus
memperhatikan karakteristik Indonesia dan sebuah hak asasi juga harus diimbangi
dengan kewajiban sehingga diharapkan akan tercipta saling menghargai dan
menghormati akan hak asasi tiap-tiap pihak.[26]
Dalam Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dua pasal yang saling berkaitan erat,
yaitu Pasal 28I dan Pasal 28J. Keberadaan Pasal 28J dimaksudkan untuk
mengantisipasi sekaligus membatasi Pasal 28I.[27]
Pasal 28I mengatur beberapa hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk di
dalamnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.[28]
Sedangkan Pasal 28J memberikan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.[29]
Rumusan HAM yang masuk dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dibagi ke dalam
beberapa aspek, yaitu :
1. HAM
berkaitan dengan hidup dan kehidupan
2. HAM
berkaitan dengan keluarga
3. HAM
berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi
4. HAM
berkaitan dengan pekerjaan
5. HAM
berkaitan dengan kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan, kebebasan
bersikap, berpendapat, dan berserikat
6. HAM
berkaitan dengan informasi dan komunikasi
7. HAM
berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat manusia
8. HAM
berkaitan dengan kesejahteraan social
9. HAM
berkaitan dengan persamaan dan keadilan
10. HAM
berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain
Jika
rumusan HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 diimplementasikan secara konsisten,
baik oleh negara maupun oleh rakyat, diharapkan laju peningkatan kualitas
peradaban, demokrasi, dan kemajuan Indonesia jauh lebih cepat dan jauh lebih
mungkin dibandingkan dengan tanpa adanya rumusan jaminan pengakuan,
penghormatan, perlindungan, dan pemajuan HAM dalam Undang-Undang 1945.[30]
C. Referensi
Budiardjo,
Prof. Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik
Edisi Revisi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
2009
Rayna Dalinta G, mahasiswa Universitas Gunadarma. Makalah. Pemahaman Tentang Hak Asasi Manusia. 2010
Sekretariat
Jendral MPR RI. Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jakarta. 2008
Undang-Undang
No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
http://pusham.uii.ac.id/ham/11_Chapter5.pdf
[1]
Lihat UU 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 1, angka 1
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]
Ibid
[6]
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik Edisi Revisi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2009. Hlm 248
[7]
Lihat makalah Rayna Dalinta G, mahasiswa Universitas Gunadarma. Pemahaman Tentang Hak Asasi Manusia. 2010
[8]
Lihat Prof. Miriam Budiardjo. Op. Cit
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Op. Cit 2,3,4,5. Hlm 281
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] ibid
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] ibid
[21] ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24]
Sekretariat Jendral MPR RI. Panduan
pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta. 2008. Hlm 115.
[25] ibid
[26] ibid
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] ibid
[30] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar