Setidaknya ada 3 nama yang disebut Nazar, yakni M. Jasin, Chandra hamzah dan Ade Rahardja. Ketiganya dituding ikut menerima dana haram, dari proyek wisma atlet. Menurut Nazar, saat kasus ini mulai terkuak, Chandra dan Ade Rahardja, yang menjadi tulang punggung penindakan di KPK, membuat kesepakatan dengan Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum, untuk menghentikan kasus ini sebatas pada Nazaruddin. Kesepakatan yang bertujuan mengamankan Anas dari jerat hukum. Sebagai kompensasinya, Anas selaku pemimpin di partai penguasa, berani menjamin Chandra akan terpilih lagi sebagai pimpinan KPK periode mendatang. Tapi tentu saja, ini semua cerita versi Nazaruddin.
KPK Terancam Pecah
Meski hanya pernyataan sepihak, namun tudingan Nazaruddin mendapat respon serius dari KPK. Ketua KPK, Busyro Muqodas, akhirnya mengumumkan pembentukan komite etik dan menugasi pengawas internal untuk menindaklanjuti ucapan Nazar. Pengawas internal, bertugas memeriksa karyawan KPK dari unsur non-pimpinan, dalam hal ini Ade rahardja. Sedangkan komite etik, memeriksa ada-tidaknya pelanggaran yang dilakukan pimpinan KPK, yakni Chandra dan Jasin. Tidak ingin terkesan subyektif, komite ini juga melibatkan anggota independen, yakni Mardjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia dan Syahrudin Rasul.
Upaya pemeriksaan ini patut diapresiasi karena menunjukkan keberanian dan kebesaran hati KPK. Sebagai lembaga yag menjadi garda terdepan pemberantaan korupsi, KPK membuktikan kesungguhannya untuk memberangus korupsi mulai dari rumah sendiri.
Emerson Juntho dari Indonesian Corruption Watch, juga memuji respon cepat KPK. Namun ia mengingatkan KPK agar tidak terlalu jauh terpancing oleh nyanyian Nazar. Jangan sampai kinerja KPK merosot karena terlalu sibuk menangkis serangan Nazaruddin. Sebuah kekhawatiran yang beralasan, dan sayangnya, sudah mulai terbukti. Gempuran Nazaruddin melalui media, sedikit banyak menggoyahkan KPK, bahkan menimbulkan tanda-tanda keretakan. Indikasi perpecahan ini bisa dilihat dari komentar M. Jasin, saat menanggapi rencana komite etik memeriksa dirinya.
Jasin menegaskan siap diperiksa. Tapi muncul kesan ia tidak rela, bila hanya namanya dan Chandra yang jadi sorotan. Menurut Jasin, pemeriksaan semestinya tidak hanya didasari pada nama-nama yang disebut Nazaruddin. Komite etik seharusnya memeriksa seluruh pimpinan KPK tanpa tebang pilih, termasuk sang ketua, Busyro Muqodas. Bayangkan, jika tadinya tuduhan tebang pilih datang dari luar, kini keluhan serupa justru datang dari internal KPK sendiri. Sebuah dinamika yang mengkhawatirkan.
Selamatkan KPK
Sebagai manusia biasa, seluruh pimpinan KPK tidak luput dari kemungkinan khilaf. Sehingga tudingan kolusi seperti diungkap Nazaruddin tidak boleh dinafikan begitu saja. Sekecil apapun persentasi kebenarannya. Karena itu kontrol dan pengawasan dari dalam yang kini sedang berlangsung di tubuh KPK patut didukung. Bukan untuk menyelamatkan atau menyingkirkan satu-dua pimpinan, tapi demi menjamin integritas KPK secara keseluruhan. Karena itu, siapapun pihak terperiksa harus berbesar hati menerima proses ini sebagai wujud transparansi KPK dimata publik.
Kita tahu, dalam perjalanannya, KPK sudah menghadapi begitu banyak persoalan. Mulai dari kriminalisasi Bibit-Chandra yang melahirkan istilah “cicak versus buaya” hingga kasus pembunuhan yang menyeret Antasari Azhar ke penjara. Semua cobaan itu, harus diakui sempat membuat kinerja KPK mengendur. Tapi toh nyatanya KPK tetap bertahan. Dan kali ini, cobaan itu datang lagi. Kita berharap, KPK masih mampu menjaga kekompakan, stamina dan daya juangnya, menghadapi perlawanan balik koruptor. Jangan sampai si cicak binasa, hanya gara-gara ocehan sang buaya dari lubang persembunyiannya.
Sumber : http://srimulyani.net/index.php/news/2011/08/kpk-versus-nazaruddin
1 komentar:
austine88
link austine88
link alternatif austine88
Bandar online slot dan togel
Posting Komentar