Gerakan moral para agamawan
mempermasalahkan kebohongan pemerintah dapat dilihat sebagai upaya
memutus siklus pelupaan politik.Namun harus diingat, struktur ke kuasaan
kita mempunyai daya elastisitas untuk menghadapi tekanan opini publik.
Di samping masalah kebohongan, ketidakjujuran, atau keingkaran
pemerintah terhadap rakyatnya sebagaimana telah menjadi ke prihatinan
tokoh agama dan tokoh masyarakat belakangan ini, ada masalah lain yang
tak kalah serius. Kebohongan dan keingkaran itu sesungguhnya berkelindan
dengan problem pelupaan dalam konteks relasi antara Negara dan
masyarakat di Indonesia. Kita sebagai bangsa telah lama terjangkiti
sindrom “lupa politis”. Bukan hanya pemerintah, DPR, dan penegak hukum
yang terjangkiti sindrom ini, tapi juga unsur-unsur masyarakat dalam
gradasi yang berbeda. Kebohongan atau ketidakjujuran tumbuh subur dan
semakin sistematis dalam kehidupan publik kita, karena kita mudah
melupakan hal-hal yang sudah terjadi, bahkan diam-diam memaafkannya
berdasarkan rasionalitas atau moralitas tertentu. Tanpa terkecuali
terhadap kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya tidak layak dilupakan
atau ditoleransi begitu saja.
Pada aras penyelenggara negara, terlalu
banyak kasus yang dapat disebut. Di negeri ini, pelupaan politik sudah
menjadi sesuatu yang sangat sistematik sebagaimana korupsi dan
nepotisme. Saban awal periode pemerintahan, saban awal tahun, selalu
dijanjikan komitmen pemerintah untuk memerangi korupsi, mewujudkan
pemerintahan yang bersih, mereformasi birokrasi, mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan, menyelesaikan pelanggaran hak asasi. Namun nyatanya
antara janji dan tindakan notabene tidak sejalan, dan tidak ada
terobosan yang signifikan dalam aspek-aspek itu. Pertanyaannya yang
perlu diajukan sekarang bahkan bukan sekadar “apakah pemerintah
melaksanakan janji-janji yang telah diucapkan”, tetapi lebih radikal
lagi “adakah di antara janji-janji itu yang masih diingat pemerintah”.
Pertanyaannya bukan lagi “apakah para anggota DPR melaksanakan
janji-janji pemilu”, melainkan “apakah mereka ingat pernah melontarkan
janji-janji”.
Begitu sebuah pemerintahan dimulai, para
penebar janji mulai menarik diri dan sibuk dengan urusan masing-masing,
entah pribadi atau partai politik. Seakanakan tidak ada lagi ikatan yang
kuat antara mereka dan masyarakat sebagai obyek janji-janji. Dalam
kondisi normal penyelenggaraan kekuasaan, meminjam istilah Max Weber,
para pemimpin politik lebih sering memposisikan diri sebagai
“orang-orang yang hidup dari politik”dan bukannya “orang-orang yang
hidup untuk politik” dalam arti bertindak dan berpikir untuk kepentingan
bersama masyarakat.
Sebagai bangsa, kita belum berhasil
menyembuhkan sindrom lupa politis, kebiasaan untuk mudah melupakan dan
memaafkan, termasuk terhadap perkara-perkara yang tak layak dilupakan
dan dimaafkan. Kita punya persoalan serius dalam hal ingatan kolektif
akan masa lalu. Hal-hal yang telah berlalu seperti dianggap tak relevan
untuk dipersoalkan, dan kita begitu mudah beranjak ke masalah lain yang
lebih baru. Di sini kita tidak hanya berbicara tentang
peristiwa-peristiwa besar sejak republik ini terbentuk, namun juga
komitmen jangka pendek, seperti program kerja tahunan, komitmen untuk
menuntaskan kasus Bank Century, kasus Gayus Tambunan, komitmen untuk
membereskan kebobrokan lembaga pemasyarakatan, atau komitmen untuk
mengatasi kemacetan Jakarta. Komitmen ini telah menjadi realitas politik
atau hukum, telah dibentuk satuan tugas untuk melaksanakannya, tetapi
tetap saja begitu mudah dilupakan begitu masalah lain muncul ke
permukaan.
Perlu digarisbawahi, lupa politik ini
bukan hanya problem pemerintah, namun juga problem masyarakat sendiri.
Ada begitu banyak pemimpin yang terbukti korup atau tidak becus
mengurusi pemerintahan, namun pada akhirnya tetap dipilih oleh
masyarakat menjadi anggota DPR atau DPRD, atau menjadi bupati atau wali
kota. Sekarang ini relatif mudah menyebutkan pemimpin yang korup atau
menyeleweng, namun akhirnya tetap dipilih masyarakat untuk menjadi
pemimpin. Begitu mudahnya penyelewengan terhadap amanat masyarakat
dilupakan dan dimaafkan.
Pada sisi lain, ada begitu banyak skandal
politik yang diangkat ke permukaan, mendominasi wacana media, menjadi
perbincangan hangat para pengamat, menimbulkan kegaduhan nasional, namun
berakhir tanpa kejelasan. Begitu pemberitaan suatu kasus mengalami
kejenuhan, atau begitu muncul kasus baru yang tidak kalah menarik,
proses untuk mengungkap skandal pun berakhir dengan antiklimaks, tanpa
kebenaran. Kita tidak tahu bagaimana ujung-pangkal skandal-skandal yang
menghebohkan: Buloggate, Bruneigate, Centurygate dan lain-lain. Arus
pelupaan politik itu begitu kuat, bahkan sepertinya sistematik.
Masyarakat sipil, media massa, dan kalangan intelektual sering tidak
punya cukup energi untuk menahannya karena, pada waktu yang relative
bersamaan, kita dihadang banyak masalah yang samasama membutuhkan
perhatian serius.
Gerakan moral para agamawan
mempermasalahkan kebohongan pemerintah dapat dilihat sebagai upaya
memutus siklus pelupaan politik. Namun harus diingat, struktur kekuasaan
kita mempunyai daya elastisitas untuk menghadapi tekanan opini publik.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk menetralkan tekanan masyarakat,
tanpa menyelesaikan pokok masalah. Misalnya dengan mengundang para
agamawan untuk berdialog dengan presiden. Dialog berlangsung,
kontroversi mereda, namun pokok masalah tetap tidak tertangani, dan
perhatian kita mulai tersedot oleh masalah-masalah baru. Kemungkinan
inilah yang mesti diantisipasi sejak dini.
Pemikir politik Hannah Arendt
menganjurkan pemaafan sebagai mekanisme untuk memutus siklus kesalahan,
untuk berdamai dengan masa lalu, untuk menghadapi masa depan dengan
optimisme. Namun Arendt juga menegaskan, tidak semua kesalahan dapat
dimaafkan begitu saja. Arendt menyebut kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagai kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Untuk konteks Indonesia,
kita dapat menambahkan jenis kesalahan yang tidak dapat dimaafkan itu:
korupsi, pemiskinan sistemik, ingkar-janji politik, pembohongan terhadap
masyarakat.
sumber : http://agussudibyo.wordpress.com/2011/01/27/politik-pelupaan/
0 komentar:
Posting Komentar