International Sports Stadium di Australia pada 11 April 2001.
Wasit Ronan Leaustic asal Tahiti menyudahi laga Australia melawan
American Samoa dalam kualifikasi Piala Dunia 2002. Skor akhir 31-0.
Australia mencatatkan dirinya sebagai tim yang berhasil
meraih kemenangan dengan skor terbesar di dunia dalam pertandingan
internasional resmi. Sebelumnya di bulan yang sama, dengan kemenangan
22-0 atas Tonga membuat Australia memutus rekor Kuwait yang melumat
Bhutan 20-0 pada Februari 2000.
American Samoa dan Tonga jelas bukan negara sepak bola.
Pengertiannya, sebagian besar masyarakat di kedua negara itu tidak
menjadikan sepak bola sebagai olah raga, permainan, dan hiburan yang
penting.
Saya tak bisa membayangkan Kota Malang tanpa sepak bola. Begitu
juga Medan, Makassar, Surabaya, hingga Ibu Kota. Bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia, sepak bola adalah hiburan yang kerap menjadi
pelarian pahitnya kehidupan. Mereka yang berpeluh mengenakan jersey
Merah-Putih dengan Burung Garuda di dadanya adalah atlet-atlet pilihan
yang menjadi wakil mengharumkan nama bangsa melalui sepak bola.
Eh, apakah ini artinya bila 12 orang yang menjemput
Nazaruddin menggunakan pesawat sewaan ke Kolombia boleh memakai biaya
hingga 4 miliar rupiah, timnas Merah-Putih juga layak mendapat perlakuan
serupa?
Ah, tak usah dibahas. Mari kembali ke American Samoa dan
Tonga. Saya sungguh tertarik mencari apa reaksi Tunoa Lui, pelatih
American Samoa, di kamar ganti ketika di babak I timnya tertinggal 0-16.
Begitu pula sikap Gary Phillips, pelatih Tonga ketika itu.
Pada 2001, Tonga hanya memiliki 500 pemain sepak bola. Bahkan The
Independent memberitakan, banyak dari mereka bermain dengan si
kulit bundar tanpa mengenakan sepatu. Bagaimana dengan lapangan sepak
bola? Aduh, jangan harapkan ada stadion megah di sana dengan daya
tampung seperti Stadion Utama Gelora Bung Karno.
"Hari ini adalah waktu yang indah dan menarik bagi sepak bola
Tonga," ujar Phillips. "Untuk pertama kali kami bermain di bawah sinar
lampu dan pertama kali pula bermain di sebuah taman yang memilii rumput
di atasnya."
Saya menangkap semburan harapan dalam rangkaian kalimat yang
dipilih Gary Phillips, pria Australia yang pernah menjadi gelandang klub
Sydney Olympic dan Brisbane Strikers.
Sepertinya Phillips setuju dengan ucapan Ara Parseghian, pelatih American
football yang ngetop di era 1970-an. Katanya, "Seorang pelatih
yang baik akan membuat pemainnya melihat apa yang mereka dapat, bukan
siapa mereka saat ini."
Pembicaraan tentang pelatih di Tanah Air saat ini tengah memanas.
Kekalahan 0-2 dari Bahrain di Stadion Utama Gelora Bung Karno (6/9)
telah membawa tim nasional Indonesia ke dalam posisi sulit di Grup E
untuk menggapai mimpi tampil di Piala Dunia 2014.
Ketika menerima tugas menggantikan Alfred Riedl, Wim Rijsbergen
dengan gagah mengaku kepada wartawan dia optimistis terhadap tim
barunya. Perjalanan melewati Turkmenistan di babak II kualifikasi PD
2014 dilalui tanpa muncul isu tak sedap dari dalam tim.
Lalu, kekalahan 0-3 di Iran pada laga perdana Grup E mulai membuat
publik bertanya tentang pekerjaan manajemen timnas, termasuk gaya
bermain Bambang Pamungkas dkk.
Tapi tak semua "tokoh" waswas dengan penampilan Tim Garuda di Iran
yang berkesudahan 0-3 itu. Gawatnya, melalui media massa tim nasional
kita dianggap hanya kalah postur dari tuan rumah, bukan soal kualitas
dan taktik permainan.
Takut dicap tidak nasionalis? Hmm... memprediksi Tim Garuda sulit
mendapatkan angka di Iran telah membuat saya divonis "tidak nasionalis!"
Apakah arti nasionalis itu? Dalam kamus bahasa Indonesia,
nasionalis diartikan sebagai pencinta nusa dan bangsa sendiri, orang
yang memperjuangkan kepentingan bangsanya.
Kepentingan bangsa! Dalam benak saya, nasionalis itu termasuk tidak
memberikan angin surga bahwa tim kita saat ini hebat dan sejajar dengan
Iran, Bahrain, dan Qatar. Terlebih atmosfer sepak bola di Tanah Air
tidak membantu jagoan-jagoan kita mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Jangan memberikan angin surga ketika masih ada penonton kita tidak
siap menerima kekalahan tim jagoannya. Dampak skor 0-2 versus Bahrain
di hadapan publik sendiri adalah satu satu ketidaksiapan kita.
Yang menyedihkan, kekalahan itu dibumbui cerita tak sedap yang
menimpa Wim Rijsbergen dan pasukannya. Sang pelatih asal Belanda disebut
memaki pemain ketika rehat karena gawang kita kebobolan di pengujung
babak I.
"Kalau memang benar Wim berkata tidak sopan kepada pemain, sungguh
tidak pantas. Seharusnya pelatih memberi semangat dan menjadi bapak bagi
pemain. Ingat, pemain yang dimaki-makinya itu bukan baru satu atau dua
kali membela bangsa ini, mereka layak dihargai." Begitu hasil
perbincangan saya dengan mantan pemain timnas Patar Tambunan.
"Pelatih itu harus selalu berkata positif. Ia harus jujur,
percaya, dan mencintai pemainnya. Mereka perlu saling menghormati.
Ucapan Wim menunjukkan dia itu Belanda kampungan!" ujar Sutan Harharah,
pria yang masih memegang kontrak sebagai Direktur Teknik PSSI hingga 31
Desember 2011.
Saya percaya, tim yang baik harus memiliki chemistry,
menjaga komunikasi dan mengorbankan kejayaan pribadi demi tujuan
bersama.
"Tim ini terbentuk tanpa peran saya sebagai pelatih. Saya akan
segera mencari pemain yang siap bekerja keras dan sungguh-sungguh mau
membela tim nasional. Banyak dari pemain timnas saat ini tak siap untuk
tampil di tingkat internasional. Saya tidak bisa membuat tim ini lebih
baik."
Lho? Dengan ucapan seperti itu usai kekalahan dari Bahrain,
bagaimana posisi Wim Rijsbergen di mata pesepak bola kita? Di mana sikap
optimistis yang ia ucapkan dulu?
catatan Weshley Hutagalung ( Bolanews.com )
1 komentar:
bagus sekali kak untuk dibaca
registrasi kartu axis online
Posting Komentar