Indonesia Pecah 2015. Cukup kaget juga
saya membaca tulisan tentang pecahnya negara Indonesia ini. Padahal
buku berjudul “Tahun 2015 Indonesia Pecah” tersebut ditulis oleh
Direktur Utama Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committe),
Djuyoto Suntani tahun 2007 silam.
Pertengkaran sesama anak bangsa
yang sama-sama merasa jago dan hebat, masing-masing punya kendaraan
partai, punya jaringan internasional, punya dana/uang mandiri, punya
akses, merasa punya kemampuan jadi Presiden; merupakan penyebab ketiga
Indonesia akan pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil.
Fenomena ini sudah menguat sejak era reformasi yang dimulai dengan
diterapkannya UU Otonomi Daerah.
Menurut penulis, setidaknya ada 5
faktor penyebab pecahnya NKRI. Berikut adalah faktor-faktor penyebabnya :
Penyebab pertama = Siklus tujuh abad atau 70 tahun.
Dalam bukunya ia menuliskan :
“Seperti kita ketahui, semua yang terjadi di alam ini mengikuti suatu
siklus tertentu. Eksistensi suatu bangsa dan negara juga termasuk dalam
suatu siklus yang berjalan sesuai dengan ketentuan hukum alam.
Dia mengambil contoh Kerajaan
Sriwijaya yang berkuasa pada abad 6-7 M di mana waktu itu rakyat di
kawasan Nusantara bersatu di bawah kepemimpinannya. Memasuki usia ke-70
tahun kerajaan itu mulai buyar dan muncul banyak kerajaan kecil yang
mandiri berdaulat. Alhasil, di awal abad ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya
hanya tinggal sejarah. Tujuh abad kemudian (abad 13-14 M) lahir Kerajaan
Majapahit di Trowulan, Jawa Timur sekarang.
Kerajaan besar itu berhasil
menyatukan kembali penduduk Nusantara. Namun, kerajaan ini pun bernasib
sama dengan Sriwijaya. Memasuki usia ke-70 pengaruhnya mulai hilang dan
bermunculanlah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Nama Majapahit pun
hilang ditelan bumi. Tujuh abad pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun 1945
(abad 20) rakyat Nusantara kembali bersatu dalam suatu ikatan negara
bangsa bernama Republik Indonesia (abad 20-21). Tahun 2015 akan
bertepatan RI merayakan HUT-nya yang ke-70″.
Penyebab Kedua = Hilangnya Figur Tokoh Pemersatu
Dia pun menyatakan : “Selama ini
saya selalu optimis, tapi melihat perkembangan di lapangan, apa yang
terjadi pada sesama anak bangsa, sungguh mengenaskan. Irama perpolitikan
nasional dewasa ini mengisyaratkan hitungan siklus bersatu dan bubar
dalam tujuh abad, 70 tahun tampaknya kembali terulang. Berbagai fenomena
alam yang menguat ke arah bukti kebenaran siklus sudah banyak kita
saksikan. Pertengkaran sesama anak bangsa, terutama elite politik, tidak
kunjung selesai, tulis Djuyoto. Penyebab kedua, Indonesia telah
kehilangan figur pemersatu bangsa.
Setelah Ir Soekarno dan HM
Soeharto, tidak ada tokoh nasional yang benar-benar bisa mempersatukan
bangsa ini. Masing-masing anak bangsa selalu merasa paling hebat, paling
mampu, paling pintar, dan paling benar sendiri. Para tokoh nasional
yang memimpin negeri ini belum menunjukkan berbagai sosok negarawan
karena dalam memimpin lebih mengutamakan kepentingan politik
golongan/kelompok daripada kepentingan bangsa (rakyat) secara luas.
Kehilangan figur tokoh pemersatu adalah ancaman paling signifikan yang
membawa negeri ini ke jurang perpecahan”. Katanya tegas.
Penyebab Ketiga = Masing-masing tokoh ingin menjadi nomor satu di suatu negara.
Penyebab Keempat = Adanya Konspirasi Global Tingkat Tinggi
Salah satu penyebab Indonesia
akan pecah di tahun 2015 karena adanya konspirasi global. Ada grand
strategy global untuk menghancurkankeutuhan Indonesia. Ada skenario
tingkat tinggi yang ingin menghancurkan Indonesia atau bahkan
menghilangkan nama Indonesia sebagai negara bangsa, tegasnya.
Konspirasi global ini, Djuyoto
Suntani melihat, terus bergerak dan bekerja secara cerdas dengan
menggunakan kekuatan canggih melalui penetrasi budaya, penyesatan opini,
arus investasi, berbagai tema kampanye indah seperti demokratisasi, hak
asasi manusia, kesetaraan gender, modernisasi, kebebasan pers,
kemakmuran, kesejahteraan, sampai pada mimpi-mimpi indah lewat bisnis
obat-obatan terlarang dengan segmen generasi muda.
Penyebab kelima = Karena faktor nama.
Apa
yang salah dengan nama? Ternyata, nama Indonesia sesungguhnya berasal
dari warisan kolonial Belanda yakni East-India atau India Timur alias
Hindia Belanda. Kalangan tokoh politik Belanda tingkat atas malah sering
menyebut Indonesia dengan singkatan: In-corporate Do/e-Netherland
in-Asia atau kalau diartikan secara bebas nama Indonesia sama dengan
singkatan Perusahaan Belanda yang berada di Asia. Pemberian nama
Indonesia oleh Belanda memang memiliki agenda politik tersembunyi sebab
Belanda tidak rela Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar.
Nama orisinil kawasan negeri ini
yang benar adalah Nusantara, yang berasal dari kata Bahasa Sansekerta
Nusa (pulau) dan Antara. Artinya, negara yang terletak di antara
pulau-pulau terbesar dan terbanyak di dunia sebab negara kita merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia. Bila para anak bangsa tahun 2015
mampu menyelamatkan keutuhan negeri ini sebagai satu bangsa, salah satu
opsi adalah dengan penggantian nama dari Indonesia menjadi Nusantara.
Nama Nusantara lebih relevan, orisinil, berasal dari jiwa bumi sendiri
dan lebih membawa keberuntungan, pesan Djuyoto.
Namun, karena perpecahan sudah
di ujung tanduk, salah satu agenda dalam membangun komitmen baru sebagai
bangsa dalam pandangannya adalah dengan cara (perlu direnungkan)
mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Karena, nama memiliki arti
serta memberi berkah tersendiri. Tidak hanya nama Indonesia yang bisa
menjadi penyebab negeri ini pecah, nama Jakarta pun ternyata ikut
berpengaruh terhadap keutuhan republik ini.
Nama Jakarta, Djuyoto
mengungkapkan, memiliki konotasi negatif bagi sebagian besar masyarakat.
Bila kita ingin menyelamatkan Indonesia dari ancaman perpecahan serta
punya komitmen bersama untuk membawa negara ini menjadi negara besar
yang dihormati dunia internasional, maka nama ibukota negara seyogianya
dikembalikan kepada nama awalnya yaitu Jayakarta. Nama Jayakarta lebih
tepat sebagai roh spirit Ke-Jaya-an Ibukota negara daripada nama
Jakarta, sarannya.
Dia menyatakan dalam Pilpres 2009 bisa
saja sejumlah tokoh yang kalah masih mampu mengendalikan diri tapi
gejolak massa akar rumput yang berasal dari massa pendukung tidak mau
menerima kekalahan jago pilihannya. Mereka lalu mempersiapkan diri untuk
maju bertarung lagi pada Pilpres 2014. Pilpres 2014 adalah puncak
ledakan dashyat gunung es yang benar-benar membahayakan integrasi
Indonesia. Menurut Djuyoto dari informasi yang ia peroleh di seluruh
penjuru Tanah-Air, indikasi karena gengsi kalah bersaing dalam Pilpres
Indonesia lantas mengambil keputusan radikal dengan mendeklarasikan
negara baru bukanlah sekedar omong kosong tapi akan terbukti. Pergolakan
alam negeri ini seperti gunung es yang tampak tenang di permukaan namun
setiap saat pasti meletus dengan dashyat.
Djuyoto Suntani menjelaskan,
pada Pilpres 2014 bakal bermunculan figur dari berbagai daerah yang
mulai berani bertarung memperebutkan kursi RI-1 untuk bersaing dengan
tokoh nasional di Jakarta. Para tokoh daerah sudah dibekali modal setara
dengan para tokoh nasional di Jakarta. Jika mereka kalah dalam Pilpres
2014, karena desakan massa pendukung, opsi lain adalah mendirikan negara
baru, melepaskan diri dari Jakarta.
Gonjang ganjing Indonesia
sebagai bangsa akan mencapai titik didih terpanas pada Pilpres 2014.
Jika kita tidak mampu mengendalikan keutuhan negeri ini, tahun 2015
Indonesia benar-benar pecah. Para Capres Indonesia 2014 yang gagal
ramai-ramai akan pulang kampung untuk mendeklarasikan negara baru.
Mereka merasa punya kemampuan, punya harga diri, punya uang, punya
jaringan dan punya massa/rakyat pendukung. Perubahan dan pergolakan
politik nasional pada tahun 2014 diperkirakan bisa lebih dashyat karena
tidak ada lagi figur tokoh pemersatu yang dihormati dan diterima oleh
seluruh bangsa.
sumber : asaborneo.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar